October 2011

Coretan Pelajar Artikel Pendidikan
Mengapa anak perempuan harus berolahraga, bermain menggunakan fisik, atau mendapatkan pendidikan jasmani, mungkin jawabannya adalah untuk melatih fisik menggerakkan badan beserta lain hal yang bersifat positif tentunya. Banyak alasan kesehatan untuk hal ini dan semuanya penting sekali. Bukan hanya untuk kesegaran badan namun lebih dari itu menurut Womens Sport Foundation, ada beberapa alasan yang harus dipertimbangkan. Alasan dari Women's Sport Foundation yang dikutip dari sini adalah:
  1. Anak perempuan yang berolahraga memiliki kelebihan di sekolah
  2. Mungkin secara bayangan adalah anak perempuan yang lebih banyak bermain dan berolah raga akan kehilangan banyak waktu untuk belajar. Namun riset menyatakan bahwa anak perempuan yang mendapatkan pendidikan atau bermain olahraga fisik akan lebih baik performans nya di sekolah dibandingkan yang tidak melakukan hal tersebut. Berolahraga meningkatkan daya belajar, ingatan dan tingkat konsentrasi. Hal ini memberikan banyak dorongan dan kesempatan yang lebih baik ketika belajar di kelas
  3. Anak perempuan yang berolahraga, mempelajari kerjasama tim dan kemampuan menentukan tujuan -goal-
  4. Olahraga memberikan kemampuan belajar alami yang sangat berharga. Saat berinteraksi dengan Guru olahrga, trainer dan teman satu tim untuk memenangkan sebuah pertandingan dan menentukan tehnik serta strategi tujuan tim. Hal ini adalah cara belajar untuk menuju sukses. Kemampuan-kemampuan ini akan dipakai ketika bekerja maupun dalam kehidupan bersama keluarga di rumah.
  5. Olahraga sangat penting untuk kesehatan anak perempuan
  6. Sebagai tambahan manfaat dari kebugaran tubuh dan menjaga berat tubuh. Anak perempuan yang melakukan olahraga akan berada dalam kehidupan yang sehat dan bersih. Untuk kemudian dalam perjalan kehidupannya nanti anak perempuan yang suka berolahraga akan lebih banyak terhindar dari kanker payudara ataupun osteoporosis.
  7. Berolahraga mendorong rasa percaya diri
  8. Anak perempuan yang melakukan olahraga rutin akan merasa nyaman akan dirinya sendiri. Karena olahraga membangun rasa percaya diri ketika bisa menentukan bisa melakukan, bahkan membuat lebih baik, dan menentukan sasaran menjadi lebih tinggi. Olahraga juga sebuah aktivitas yang menyenangkan hati, karena membantu anak perempuan untuk selalu dalam dalam kondisi cerah, menjaga keseimbangan tubuh dan mendapatkan pertemanan yang lebih banyak.
  9. Olahrga menghilangkan stress
  10. Bermain dan melakukan olahraga akan menurunkan stress dan membantu hati menjadi lebih bergembira. Cara kerjanya adalah bahwa struktur kimia di otak akan di salurkan saat olahrga dan hal ini akan menjadikan suasana hati menjadi lebih positif. Teman adalah hal lain yang mendorong lebih baiknya suasana hati -mood-, dan menjadi bagian dari sebuah tim akan membuat lebih erat pertemanan. Adalah hal yang sangat berharga ketika mengetahui bahwa rekan-rekan satu tim akan mensupport, baik di lapangan ataupun dimanapun berada.
Berolahraga dan melakukan aktivitas memang tidak harus berada dimanapun, karena bisa dilakukan di setiap saat dan kesempatan

Coretan Pelajar Artikel Pendidikan

Coretan Pelajar Artikel Pendidikan

Saya adalah murid salah satu SMU negeri di Yogyakarta yang ingin mengatakan, bahwa sistem pendidikan di Indonesia tidak lebih dari sebuah penjara bagi siswawnya. Karena siswa harus mengikuti beberapa pelajaran yang kurang di inginkan, tetapi sistem adalah sistem yang sulit untuk diubah. Saya maklumi ini karena sudah berjalan cukup lama dan sulit sekali untuk diubah. Saya bukannya mau meniru sekolah di luar negeri, tetapi mengapa tidak dicoba dulu. Seperti saat ini di sekolah saya ada kelas akselerasi, SMU 2 tahun. Ini hanyalah sebuah percobaan, tetapi tetap berjalan.

Di sekolah saya saat ini sedang mencoba penyampaian materi pelajaran dengan menggunakan komputer, walaupun fasilitas disekolah kami kurang mencukupi, tetapi ada seorang guru yang ingin menerapkan sistem ini disekolah kami. Walaupun dulu ditentang oleh banyak guru dan bahkan oleh kepala sekolah sekalipun, tetapi tidak menyurutkan niatnya, dan sekarang sudah berjalan cukup lancar. Penyampaiannya dengan menggunakan Power Point. Para siswa mendukung sistem ini dan cukup menyenangkan dan cukup jelas. Beberapa waktu yang lalu sekolah kami dikunjungi oleh beberapa kepala seklah di Yogyakarta untuk melihat sistem dengan menggunakan komputer.

Saya tidak ingin menyalahkan siapa yang salah, tetapi ini membuat siswa merasa jenuh dan bosan. Banyak siswa yang bolos sekolah karena malas, setiap hari isinya sama saja. Dan siswa sekarang banyak yang tidak "ngajeni" gurunya, dan saya kira ini dari kesalahan sebuah sistem yang kacau.

Sekolah = penjara = bosan

Coretan Pelajar Artikel Pendidikan


Coretan Pelajar Artikel Pendidikan

MENGKRITISI RUU SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL

Tanpa banyak terliput oleh media massa dan agak luput dari perhatian kalangan pendidikan, Komisi VI DPR RI saat ini tengah membahas RUU Sistem Pendidikan Nasional. RUU ini naskah awalnya digarap oleh Komite Reformasi Pendidikan Badan Pengembangan dan Penelitian Departemen Pendidikan Nasional (KRP Balitbang Depdiknas).

Dengan pemikiran UU Sisdiknas mempunyai arti sangat penting dalam memberi landasan yang kukuh bagi pembangunan pendidikan nasional di samping fungsinya sebagai pemberi kepastian hukum dalam pelaksanaan kegiatan pendidikan, senyampang RUU tersebut masih dalam proses pembahasan, penulis mencoba untuk mengangkat beberapa hal penting sebagai masukan bagi DPR.
Pendidikan Dasar
Sejak dahulu dan kemudian berlanjut sampai sekarang secara sadar kita semua mengalami kekacauan dalam tata nama jenjang pendidikan pada jalur pendidikan sekolah. Sebelum UU No. 2/1989 dan Wajib Belajar Pendidikan Dasar (Wajar Dikdas) Sembilan Tahun diberlakukan, Pemerintah menamai jenjang pendidikan terendah sebagai Sekolah Dasar (SD), kemudian jenjang berikutnya Sekolah Menengah Pertama (SMP), lalu Sekolah Menengah Atas (SMA) dan nama-nama khusus bagi sekolah menengah kejuruan. Dalam perkembangannya, setelah UU No. 2/1989 dan Wajar Dikdas diberlakukan, nama SMP diubah menjadi Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), SMA menjadi Sekolah Menengah Umum (SMU), dan sekolah-sekolah kejuruan cukup dengan nama Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Walaupun dasar penggantian nama SMP menjadi SLTP adalah karena SMP merupakan bagian dari pendidikan dasar, nama baru ini tetap mencerminkan kekacauan berpikir karena nama SLTP mengesankan adanya jenjang di atasnya yang bernama SLTK (Sekolah Lanjutan Tingkat Kedua) dan seterusnya. Mestinya nama yang tepat adalah Sekolah Dasar Lanjutan (SDL) yang menunjukkan dengan jelas kedudukan jenjang pendidikan tersebut dalam sistem pendidikan nasional kita.
Anehnya, dalam naskah RUU yang dibahas pada 5 Desember 2001 Komisi VI menyebut ‘Pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar (SD), Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau yang sederajat yang terdiri atas enam tingkat’ (pasal 17 ayat 2), kemudian ‘Pendidikan menengah tingkat pertama berbentuk Sekolah Menengah Pertama (SMP), Madrasah Tsanawiyah (MTs) atau yang sederajat’ dan ‘Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs) terdiri atas tiga tingkat’ (Pasal 19 ayat 2 dan 3). Berikutnya, dalam pasal 20 ayat 3 disebutkan bahwa ‘Pendidikan menengah umum berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Madrasah Aliyah (MA)’, dan pada ayat 4 ‘Pendidikan menengah vokasional berbentuk Sekolah Menengah Vokasional (SMV)’.
Di samping sistem tata nama yang kacau, terdapat kekacauan dan kemunduran berpikir yang sangat mendasar para wakil rakyat di Komisi VI yaitu dengan mengembalikan jenjang pendidikan sekolah setelah SD ke dalam jenjang pendidikan menengah yang disebut sebagai pendidikan menengah tingkat pertama. Apalagi dalam pasal 19 ayat 1 disebutkan bahwa ‘Pendidikan menengah tingkat pertama bertujuan untuk mengembangkan kepribadian, sikap, pengetahuan, dan keterampilan dasar yang diperlukan untuk memasuki dunia kerja atau untuk mengikuti pendidikan lebih lanjut’ (kursif dari penulis). Pasal ini jelas-jelas memberikan legalitas formal dan pengakuan kepada dunia bahwa Indonesia mengizinkan dunia usaha mempekerjakan anak-anak berusia muda sebagai buruh karena usia lulusan jenjang pendidikan setelah SD tersebut adalah sekitar 15 tahun. Sungguh tidak masuk akal, keberanian politik Pemerintah di masa lalu yang untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia menetapkan jenjang pendidikan dasar berlangsung sembilan tahun dimentahkan oleh para wakil rakyat di era reformasi. Kenyataan cukup banyak anak-anak berusia muda menjadi buruh atau mencari nafkah bagi keluarganya tentunya tidak harus membuat negara mencabut komitmennya dalam mencerdaskan bangsa dan meningkatkan kualitas manusia melalui pendidikan.
Dalam hal penjenjangan dan penetapan tujuan pendidikan, UU No. 2/1989 justru lebih progresif karena dengan jelas menyebutkan jenjang pendidikan dasar berlangsung selama sembilan tahun dan jelas-jelas tidak memasukkan kesiapan memasuki dunia kerja sebagai salah satu tujuan pendidikannya. Naskah terakhir KRP Balitbang Depdiknas pun (27 Juni 2001) memasukkan jenjang pendidikan dasar selama sembilan tahun dengan menyebut pendidikan dasar terdiri atas sekolah dasar dan sekolah dasar lanjutan.
Pendidikan Keagamaan
Dalam naskah RUU, baik naskah dari KRP Balitbang Depdiknas maupun naskah pembahasan Komisi VI, muncul sesuatu yang baru yaitu masuknya secara eksplisit madrasah dan pesantren. Di samping menempel dalam pasal-pasal tentang jenjang pendidikan yang salah satunya menyebut pendidikan keagamaan, dalam naskah KRP Balitbang Depdiknas ketentuan tentang madrasah dan pesantren tercantum dalam satu pasal khusus yang berisi empat ayat (pasal 17 ayat 1 s.d. 4). Dalam naskah pembahasan Komisi VI ketentuan tersebut muncul dalam salah satu pasal di bawah judul Pendidikan keagamaan yaitu pasal 26 yang secara eksplisit menyebut jenis pendidikan keagamaan Islam. Di samping itu, Komisi VI memasukkan secara eksplisit nama madrasah sesuai dengan jenjangnya dalam pasal-pasal yang menyebutkan nama suatu jenjang pendidikan (pasal 17, 18, 19, dan 20).
Menurut hemat penulis, dengan pemikiran bahwa UU ini berlaku untuk semua warga negara tanpa membedakan agama, tentunya akan lebih bijaksana untuk tidak mencantumkan secara eksplisit ketentuan-ketentuan yang sangat spesifik menunjuk agama tertentu. Atau bila hal tersebut memang sangat diperlukan untuk memberikan kepastian hukum terhadap jenis dan jenjang pendidikan yang berciri khas agama tertentu, akan lebih baik jika jenis dan jenjang sekolah yang sangat khas yang diselenggarakan oleh pemeluk masing-masing agama dapat dicantumkan semua. Pasal 25 naskah pembahasan Komisi VI sebenarnya sudah cukup mengakomodasikan hal tersebut sehingga pencantuman nama jenjang sekolah yang sangat spesifik menunjuk kepada jenis pendidikan yang diselenggarakan oleh pemeluk agama tertentu menjadi tidak perlu.
Peguruan Swassta
Satu hal yang cukup mengecewakan dalam RUU pembahasan Komisi VI adalah pengakuan terhadap perguruan swasta. Seperti halnya UU No. 2/1989 yang menempatkan eksistensi perguruan swasta dalam pasal buncit, naskah pembahasan Komisi VI pun sama saja (pasal 47 dari 59 pasal dalam UU No. 2/1989 dan pasal 49 dan 59 dari 67 pasal dalam naskah Komisi VI) dan keduanya pun tidak secara eksplisit menyebut ‘perguruan swasta’. Tentang bantuan pembiayaan bagi perguruan swasta pun keduanya menggunakan bahasa yang mengambang. UU No. 2/1989 menyebut ‘Pemerintah dapat memberi bantuan kepada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat sesuai dengan peraturan yang berlaku’ dan naskah pembahasan Komisi VI menyebut ‘Biaya penyelenggaraan pendidikan oleh masyarakat dapat bersumber dari penyelenggara, masyarakat, pemerintah, dan/atau sumber lain yang tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku’ (kursif dari penulis).
Tampaknya, pemahaman akan hak peserta didik sebagai warga negara yang bersekolah di lembaga pendidikan swasta tetap belum berubah dari tahun ke tahun. Harus dipahami bahwa jumlah sekolah dan siswa lembaga pendidikan swasta, terutama di jenjang pendidikan dasar dan menengah cukup besar untuk dapat diabaikan begitu saja.
Anggaran Pendidikan
Satu hal yang menarik dalam naskah pembahasan Komisi VI adalah dicantumkannya secara eksplisit pengalokasian dana Pemerintah yaitu 20% dari APBN, 20% dari APBD Provinsi, dan 20% dari APBD Kota/Kabupaten, semuanya di luar alokasi dana bagi gaji guru (naskah KRP Balitbang Depdiknas menyebut angka 6% PDB dan masing-masing 20% APBD Provinsi dan Kota/Kabupaten). Suatu kemajuan yang cukup berarti karena apabila RUU ini berhasil diundangkan tanpa revisi dalam hal pendanaan, pembangunan pendidikan akan kian membaik.
Di samping hal-hal yang penulis kemukakan di atas, masih banyak hal yang perlu pembahasan dan masukan dari berbagai pihak agar RUU ini dapat memenuhi keinginan kita semua dalam membangun sebuah sistem pendidikan nasional yang kuat. Untuk itu, Komisi VI seyogyanya rajin mencari masukan dari masyarakat dan berbagai kalangan yang memiliki perhatian kepada perkembangan dunia pendidikan melalui semacam public hearing dan sebagainya.(gg)

Coretan Pelajar Artikel Pendidikan

ABSTRAK
Seperti kita ketahui saat ini, terasa atau tidak terasa, suka atau tidak suka, kita sedang terbawa oleh perubahan zaman yang sangat besar yang menyangkut segala aspek kehidupan menuju suatu era yang disebut dengan era globalisasi. Sejauh mana kita berperan serta dalam era globalisasi tersebut.
Sebenarnya yang diinginkan bangsa Indonesia adalah kita sebagai bangsa yang besar harus dapat berperan serta positif dalam era globalisasi ini, kita tidak ingin hanya menjadi obyek dan bulan-bulanan bangsa lain.Oleh sebab itu kita harus mempersiapkan diri sedini mungkin untuk menyongsong era tersebut, salah satu alternatif adalah mempersiapkan sumber daya manusia melalui proses pendidikan. Jadi masalah utama yang harus dijawab dalam adalah model pengajaran apa yang dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia dalam rangka menyongsong era globalisasi. Salah satu alternatif adalah memperkenalkan IPTEK secara dini dalam pendidikan formal karena siswa-siswi kita adalah sumber daya manusia dimasa yang akan datang.

A. Pendahuluan.

Basic Technology Education atau Pendidikan Dasar Teknologi merupakan materi pelajaran yang mengacu pada bidang IPTEK, dimana siswa diberi kesempatan untuk membahas dan mempelajari masalah teknologi di masyarakat, memahami dan menangani peralatan teknologi serta membuat produk teknologi sederhana melalui kegiatan merancang, membuat, menggunakan dan menganalisa dengan menggunakan metoda pemecahan masalah .

Kompetensi-kompetensi seperti mampu memecahkan masalah, mampu berpikir alternatif dan mampu mengevaluasi sendiri hasil pekerjaannya, dapat dikembangkan melalui BTE. Artinya BTE dapat mempersiapkan peserta didik memiliki kemampuan khusus agar dapat bekerja mandiri dalam kebersamaan serta berhasil di masa depannya.

Dalam era globalisasi seperti sekarang ini, kita akan dihadapkan pada perubahan dan perkembangan IPTEK yang sangat cepat, demikian juga halnya dengan kebudayaan juga akan berkembang seiring dengan perkembangan IPTEK. Menghadapi keadaan ini masyarakat perlu diarahkan pada sikap "sadar teknologi" atau "melek teknologi".

Oleh karena itu langkah yang paling baik adalah IPTEK perlu diperkenalkan secara dini melalui pendidikan formal. Sehingga sangat relevan jika Pendidikan Teknologi Dasar diperkenalkan di sekolah khususnya SLTP, karena para siswa-siswi kita adalah aset sember daya manusia di masa yang akan datang. Melalui kegiatan Pendidikan Teknologi Dasar para tamatannya dapat lebih menyadari masalah teknologi seperti mamapu menangani produk teknologi, mampu membuat produk teknologi sederhana serta dapat menyadari bahwa produk teknologi sangat erat erat kainnya dengan masyarakat. Selain itu para siswa-siswi memiliki motivasi yang kuat untuk mempelajari teknologi lebih lanjut, misal sampai perguruan tinggi.

Di negara-negara yang telah maju seperti Amerika, Inggris, Jerman, Belanda, Australia, Belgia dan sebagainya, pendidikan teknologi sudah diperkenalkan sejak akhir dasa warsa yang lalu dan saat ini telah dijadikan bagian dari kurikulum pokok pada sekolah dasar dan sekolah lanjutan, selain itu di Afrika Selatan sudah dipersiapkan kurikulum yang disebut "kurikulum Afrika Selatan menuju tahun 2005" dan memasukkan pendidikan teknologi sebagai mata pelajaran pokok.

Di Indonesia sebenarnya telah ada gagasan untuk memperkenalkan pendidikan teknologi sebagai mata pelajaran yang terpisah, yaitu pada saat penyuusunan kurikulum tahun 1990-1991, tetapi akhirnya diputuskan oleh pemerintah, bahwa teknologi diintegrasikan kedalam mata pelajaran yang sudah ada seperti Fisika, Kimia, Biologi dan sebagainya seperti yang kita lihat dalam kurikulum tahun 1994, misanya seperti pada mata pelajaran IPA telah diperkenalkan kegiayan merancang dan membuat dengan mengaplikasikan konsep Fisika dengan kebutuhan siswa di masyarakat. Di SLTP terdapat 10 %-15 % kegiatan teknologi dalam bentuk merancang dan membuat.

Pada saat ini di Indonesia Pendidikan Teknologi Dasar (BTE) mulai diperkenalkan dalam mata pelajaran yang terpisah dan masih merupakan proyek rintisan dan percontohan, kegiatan ini di perkenalkan di Indonesia atas kerjasam . Departement Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia dan Departement Pendidikana dan Kebudayaan pemerintah Kerajaan Belanda, secara operasional kegiatan ini di laksanakan oleh SLO ( Pusat kurikulum Belanda ) dan Direktorat Sekolah Swasta ( Ditsiswa ) Depdikbud Indonesia. Dan di tunjuk 4 sekolah swasta percontohan yaitu SLTP Taruna Bakti Bandung, SLTP Al-Kautsar Bandar Lampung, SLTP Hang Tuah Ujung Pandang dan SLTP Katolik Ambon, semua nya adalah SLTP_SLTP swasta. Kurikulumnya dikembangkan oleh Balitbang Depdikbud, PPPG teknologi Bandung dan SLO ( Pusat Kurikulum Belanda ), sedangakan pengembangan materi dan metodeloginya dilakukan oleh PPPG Teknologi Bandung bekerja sama dengan Hoogeschool Van Utrecht ( Hvu ) Belanda.


B. Peluang Pendidikan Teknologi Dasar dalam Kurikulum SLTP Tahun 1994 ( Kurikulum Pendidikan Dasar 1994 ).

Dalam era globalisasi, yang seperti telah dicanangkan oleh Presiden terdahulu bahwa Indonesia tahun 2003 - 2010akan memasuki pasar bebas, diaman setiap orang dapat melakukan aktifitas di Indonesia dengan kompetisi objektif, tanpa melihat asal usul kewarga negaraannya, hal itu berarti siap tidak siap, suka tidak suka, mau tidak mau semua masyarakat Indonesia harus berhadapan dan terlibat langsung dengan perkembangan Ilmu Perngetahuan dan Tenologi ( IPTEK ) yang sangat pesat, bagaikan "Air Bah" yang dapat menerjang siapa saja.

Kondisi terssebut dapat memberi peluang yang sanagt besar bagi kita, tetapi juga dapat menimbulkan tantangan yang besar pula. Hanya saja tantangan yang besar itu jangann sampai menjadi ancaman, karen kita bangsa Indonesia tidak mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya.

Untuk mengantisipasi keadaaan itu, pemerintah sejak tahun 1984 telah wajib belajar sembilan tahun oleh presiden Soeharto waktu itu, sehingga pada tahun 2003 di harapkan masyarakat Indonesia serendah-rendahnya berpendidikan SLTP.Pada kondisi tersebut, merupakan tonggak yang amat kritis karena ke majuan negara sangat bergantung kepda kwalitas sumber daya manusianya agar kita dapat bersaing secara global dengan cara kompotitf atau kooperatif.

Selain itu masyarakat indonesia harus "melek teknologi" (sadar teknologi), sehingga wawasan IPTEK perlu diperkenalkan secara dini kepada para siswa-siswi kita. Persoalannya sekarang adalah, apakah sistimm pendidikan yang sudah ada sekarang memungkinkan dapat meningkatkan wawasan IPTEK siswa ?, Apakah masih ada peluang lain untuk meningkatkan wawasan IPTEK siswa ?.

Kita tinjau kurikulum tentang Pendidikan Dasar yang telah disiapkan oleh pemerintah, dalam buku kurikulum pendidikan tahun 1994 tentang Pendidikan Dasar, penyajian mata pelajaran dimaksudkan agar lulusannya memperoleh bekal kemampuan dasar untuk mengembangkan kehidupan sebagai pribadi, warga negara dan anggota masyarakat serta mempersiapkan siswa untuk mengikuti pendidikan menengah (PP no 28 tahun 1990 tentang Pendidikan Dasar).

Selanjutnya dalam buku Kurikulum Pendidikan Dasar : Landasan, Program dan Pengembangan dijelaskan bahwa "Kurikulum di SLTP lebih menekankan pada kemampuan siswa untuk menguasai dasar-dasar ilmu pengetahuan dan teknologi yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan dan lingkungan. Pengauasaan tersebut akan memudahkan siswa untuk mengembangkan kemampuannya secara bertahap seperti berpikir teratur, kritis dalam memecahkan masalah sederhana serta sanggup bersikap mandiri dalam kebersamnaan" makna dari ungkapan tersebut diatas, mengisaratkan bahwa peluang memperkenalkan wawasan IPTEK sudah tersirat dalam kurikulum tahun 1994 dan wawasan IPTEK sudah seharusnya mulai diperkenalkan sjak di SLTP.


C. Apa Pendidikan Teknologi Dasar itu ?

Pendidikan Teknologi Dasar menurut HJ. Grover dapat didefinisikan sebagai pendidikan untuk massa depan yang memberi anak-anak muda kesempatan untuk mempelajari berbagai jenis bahan, proses, produk industri dan permasalahan yang berhubungan dengan kehidupan dan pekerjaan dalam dunia teknologi (SLO, basic Technology Education, Nov. 1995). Definisi secara acurat sulit untuk diberikan karena teknologi berubah secara cepat.

Pendidikan Teknologi Dasar bertujuan memperkenalkan dan membiasakan para siswa-siswi terhadap dunia teknologi dengan aspek-aspek penting yang memungkinkan siswa dapat :
1. Mengembangkan berpikir kritis terhadap teknologi.
2. Mengembangkan kemampuan berpendapat tentang teknologi dan mampu menggambarkannya pada orang lain.
3. Mengidentifikasi dampak teknologi baik yang positif maupun yang negatif terhadap masyarakat dan lingkungan.
4. Memiliki wawasan dalam memilih profesi dalam bidang teknologi sehingga memiliki peran yang berarti di dalam masyarakat.
5. Memiliki motivasi untuk belajar lebih lanjut tentang teknologi.
6. Membiasakan diri bekerja sendiri dalam kebersamaan.

Teknologi bagi setiap anak dan masyarakat tidaklah sama, sebagai contoh anak yang berada di Jakarta mempunyai pandangan tentang teknologi yang sangat berbeda dengan anak yang berada di kota Menado, akan tetapi adan teknologi yang bersifat umum. Selain itu pada saat ini dengan perkembangan teknologi informasi yang sangat cepat anak akan mempunyai pandangan dasar tentang teknologi yang hampir sama dan menyadari bahwa teknologi berkembang sangat pesat.

Dalam pendidikan teknologi dasar setiap siswa akan memperoleh pengetahuan dan pemahaman terhadap tiga pilar teknologi yaitu :
1. Penangan produk teknologi.
Para siswa dapat menggunakan produk teknologi secara tepat dan benar, baik berupa alat untuk memproduksi, maupun alat-alat ukur (instrumen), sehingga memberi kesempatan kepada para siswa untuk memahami kemampuan dan minatnya dalam bidang teknologi. Pada bagian ini para siswa belajar tentang teknologi dengan praktek dan praktikum dengan metoda pemecahan masalah dan pendekatan sistim.
2. Pembuatan produk teknik.
Para siswa diharapkan dapat menyadari bahwa teknologi sebagai suatu proses kegiatan yang dapat membuat sesuatu benda kerja yang dapat berfungsi dan bermanfaat baik untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain.Dalam bagian ini para siswa belajar bagaimana membuat produk teknik atau benda kerja yang dapat berfungsi dengan cara terlibat selama proses pembuatannya dan menggunakan produk teknologi sebagai alatnya. Benda yang dibuat oleh siswa adalah benda yang dapat berfungsi karena benda yang berfungsi akan memberikan motivasi yang tinggi pada diri para siswa untuk belajar lebih lanjut. Pada bagian ini para siswa akan belajar teknologi dasar dengan metoda : alur produksi, kunjungan industri, pemecahan masalahdan pendekatan sistim.
3. Teknologi dan masyarakat.
Teknologi sebagai suatu alat untuk memecahkan permasalahan manusia. Disini terdapat hubungan yang erat antara teknologi dengan ilmu pengetahuan lain di dalam masyarakat. Pada bagian ini para siswa belajar dengan metoda kunjungan industri, pemecahan masalah, alur produksi dan bekerja tematis.

Berdasarkan ketiga pilar tersebut diatas materi umum pendidikan dasar teknologi dikembangkan, dengan koposisi sebagai berikut : (a) Penanganan produk teknologi memerlukan waktu 30 %; (b) Pembuatan produk teknologi, meerlukan waktu 35 %; (c) Hubungan antara teknologi dengan masyarakat, memerlukan alokasi waktu 10 %. Sedangkan waktu yang tersisa sekitar 25 % dicadangkan untuk diisi dengan teknologi yang sifatnya lokal atau sesuai dengan perkembangan teknologi yang yang ada didekat lingkungan para siswa.

D. Buku Sumber.
1. ................., (1997) Basic Technology Education Curriculum Indonesia, Educaplan, Enschede, The Netherlands.
2. Doornekamp, B.G. (1995). Technology in Dutch Primary Education, National Institut for Curriculum Devellopment, The Netherlands.
3. Griffith, Alan K & Health, Nancy Parson, (1996), Student Secondary view about Technology, Journal Research in Science & Technology Education, Vol. 14, No. 2.
4. Sukadinata, Prof. Dr. Nana Syaodih, (1997) Pengembangan Kurikulum, Penerbit PT. Remaja Rosdakarya, Bandung.


Coretan Pelajar Artikel Pendidikan

Coretan Pelajar Artikel Pendidikan


Dalam buku Belajar Civic Education dari Amerika, dijelaskan bahwa Civic Education adalah pendidikan- untuk mengembangkan dan memperkuat dalam atau tentang pemerintahan otonom (self government). Pemerintahan otonom demokratis berarti bahwa warga negara aktif terlibat dalam pemerintahannya sendiri; mereka tidak hanya menerima didikte orang lain atau memenuhi tuntutan orang lain. Yang pada akhirnya cita-cita demokrasi dapat diwujudkan dengan sesungguhnya bila setiap warganegara dapat berpartisipasi dalam pemerintahannya Dalam demokrasi konstitusional, civic education yang efektif adalah suatu keharusan karena kemampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat demokratis, berpikir secara kritis, dan bertindak secara sadar dalam dunia yang plural, memerlukan empati yang memungkinkan kita mendengar dan oleh karenanya mengakomodasi pihak lain, semuanya itu memerlukan kemampuan yang memadai (Benjamin Barber, 1992)
Tujuan civic education adalah partisipasi yang bermutu dan bertanggung jawab dalam kehidupan politik dan masyarakat baik ditingkat lokal, maupun nasional. Hasilnya adalah dalam masyarakat demokratis kemungkinan mengadakan perubahan sosial akan selalu ada, jika warga negaranya mempunyai pengetahuan, kemampuan dan kemauan untuk mewujudkannya. Partisipasi warga negara dalam masyarakat demokratis, harus didasarkan pada pengetahuan, refleksi kritis dan pemahaman serta penerimaan akan hak-hak dan tanggung jawab. Partisipasi semacam itu memerlukan (1) penguasaan terhadap pengetahuan dan pemahaman tertentu, (2) pengembangan kemampuan intelektual dan partisipatoris, (3) pengembangan karakter atau sikap mental tertentu, dan (4) komitmen yang benar terhadap nilai dan prisip fundamental demokrasi.
Dalam civic education juga didalamnya mengembangkan tiga komponen utama: pengetahuan kewarganegaraan (civic knowledge), kecakapan kewarganegaraan (civic skills), dan watak-watak kewarganegaraan (civic dispositions).
Civic Education memberdayakan warganegara untuk dapat membuat pilihan yang bijak dan penuh dengan kesadaran dari berbagai alternatif yang ditawarkan, memberikan pengalaman-pengalaman dan pemahaman yang dapat memupuk berkembangnya komitmen yang benar terhadap nilai-nilai dan prinsip yang memberdayakan sebuah masyarakat bebas untuk tetap bertahan.
Civic Education bukan hanya meningkatkan partisipasi warga negara, tetapi juga menanamkan partisipasi yang berkompeten dan bertanggungjawab dan kompeten harus didasarkan pada perenungan (refleksi), pengetahuan dan tanggung jawab moral.
Ace Suryadi mengatakan bahwa Civic Education menekankan pada empat hal :
Pertama, Civic Education bukan sebagai Indoktrinasi politik, Civic Education sebaiknya tidak menjadi alat indoktrinasi politik dari pemerintahan yang berkuasa. Civic Education seharusnya menjadi bidang kajian kewarganegaraan serta disiplin lainnya yang berkaitan secara langung denga proses pengembangan warga negara yang demokratis sebagai pelaku-pelaku pembengunan bangsa yang bertanggung jawab.
Kedua, Civic Education mengembangkan state of mind, pembangunan karakter bangsa merupakan proses pembentukan warga negara yang cerdas serta berdaya nalar tinggi. Civic education memusatkan perhatian pada pembentukan kecerdasan (civic intelligence), tanggung jawab (civic responbility), dan partisipasi (civic participation) warga negara sebagai landasan untuk mengembangkan nilai dan perilaku demokrasi. Demokrasi dikembangkan melalui perluasan wawasan, pengembangan kemampuan analisis serta kepekaan sosial bagi warga negara agar mereka ikut memecahkan permasalahan lingkungan. Kecakapan analitis itu juga diperlukan dalam kaitan dengan sistem politik, kenegaraan, dan peraturan perundang-undangan agar pemecahan masalah yang mereka lakukan adalah realistis.
Ketiga, Civic Education adalah suatu proses pencerdasan, pendekatan mengajar yang selama ini seperti menuangkan air kedalam gelas (watering down) seharusnya diubah menjadi pendekatan yang lebih partisipatif dengan menekankan pada latihan penggunaan nalar dan logika. Civic education membelajarkan siswa memiliki kepekaan sosial dan memahami permasalahan yang terjadi dilingkungan secara cerdas. Dari proses itu siswa dapat juga diharapkan memiliki kecakapan atau kecerdasan rasional, emosional, sosial dan spiritual yang tinggi dalam pemecahan permasalahan sosial dalam masyarakat. Keempat, Civic Education sebagai lab demokrasi, sikap dan perilaku demokratis perlu berkembang bukan melalui mengajar demokrasi (teaching democracy), akan tetapi melalui penerapan cara hidup berdemokrasi (doing democracy) sebagai modus pembelajaran. Melalui penerapan demokrasi, siswa diharapkan akan seceptnya memahami bahwa demokrasi itu penting bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Dalam hal ini civic education lebih dipentingkan karena menekankan pada:
Pertama, Civic Education tidak hanya sekadar melayani kebutuhan-kebutuhan warga dalam memahami masalah-masalah sosial politik yang terjadi , tetapi lebih dari itu. Ia pun memberikan informasi dan wawasan tentang berbagai hal menyangkut cara-cara penyelesaian masalah . dalam kontek ini, civic education juga menjanjikan civic knowledge yang tidak saja menawarka solusi alternatif, tetapi juga sangat terbuka dengan kritik (kontruktif). Kedua, Civic education dirasakan sebagai sebuah kebutuhan mendesak karena merupakan sebuah proses yang mempersiapkan partisipasi rakyat untuk terlibat secara aktif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara demokratis.
Pendidikan yang bersifat demokratis, harus memiliki tujuan menghasilkan tujuan menghasilkan lulusan yang mampu berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat dan mampu mempengaruhi pengambilan keputusan kebijakan publik. Dengan kata lain, pendidikan harus mampu menanamkan kesadaran dan membekali pengetahuan kan peran warga dalam masyarakat demokratis.
Guna membangun masyarakat yang demokratis diperlukan pendidikan agar warganya dapat mengkritisi dan memahami permasalahan yang ada. Dengan demikian civic education akan menghasilkan suatu pendidikan yang demokratis dengan melahirkan generasi masa depan yang cerdas, terbuka, mandiri dan demokratis.
Sehingga diharapkan civic education dapat memberikan nilai-nilai demokrasi dengan tujuan : Pertama, Dapat memberikan sebuah gambaran mengenai hak dan kewajiban warga negara sebagai bagian dari integral suatu bangsa dalam upaya mendukung terealisasinya proses transisi menuju demokrasi, dengan mengembangkan wacana demokrasi, penegakan HAM dan civil society dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kedua, Menjadikan warga negara yang baik (good citizen) menuju kehidupan berbangsa dan bernegara yang mengedepankan semangat demokrasi keadaban, egaliter serta menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia. Ketiga, Meningkatkan daya kritis masyarakat sipil. Keempat, Menumbuhkan kesadaran dan keterlibatan masyarakat sipil secara aktif dalam setipa kegiatan yang menunjang demokratisasi, penegakan HAM dan perwujudan civil society.


Coretan Pelajar Artikel Pendidikan

Coretan Pelajar Artikel Pendidikan

Pada tahap sekarang ini Indonesia telah memasuki tahap pembangunanan dalam dunia pendidikan walaupun tampaknya dunia pendidikan di indonesia masih sangat memprihatinkan namun di balik itu dunia pendidikan di Indonesia mengalami sedikit peningkatan bila kita bandingkan dengan dunia pendidikan yang ada di Indonesia sebelumnya.
Namun semua itu masih banyak hal yang perlu di perbaiki dalam dunia pendidikan yang ada di Indonesia antara lain sistem pendidikan yang ada sekarang ini.
Sistem pendidikan yang ada di Indonesia kayaknya perlu ada perumbakan dalam arti tidak merumbak untuk menghancurkan sistem pendidikan yang lama dengan mengganti metode yang baru, namun kita harus bisa sama-sama menutupi lobang-lobang yang ada dalam dunia pendidikan sekarang ini.
Sebagai mana metode pengajaran yang ada di bangku kuliah sekarang ini masih menganggap seorang mahasiswa itu sebagai anak-anak yang bodoh dan perlu di dikte oleh dosen padahal pada kenyataannya seorang mahasiswa itu belum tentu lebih bodoh dari dosennya akan tetapi mungkin dosennya lebih bodoh dari mahasiswanya, namun Dosen lebih dahulu memandang dunia ini, seperti yang kita lihat sekarang ini keadaan real yang ada dosen selalu memegang kekuasaan kebenaran padahal dosen tersebut belum tentu benar.
Maka sistem seperti itu harus kita ubah agar mahasiswa kuliah itu tidak hanya mengejar nilai yang bagus di mata dosen tapi mahasiswa itu membuka wacananya berpikir dan bisa mengatakan kebenaran menurut pola /sudut pikirannya, kalau memang itu pada kenyataannya benar.
Karna semua itu adalah salah satu tahap awal bagi seorang mahasiswa untuk membuka wacananya berpikir krisis dan berinteraksi langsung dengan dunia pendidikan yang ada..


Coretan Pelajar Artikel Pendidikan

Coretan Pelajar Artikel Pendidikan

Ilmuwan yang berkutat dengan teori bukanlah orang yang patut menjadi sumber pengetahuan, karena Alam ini sungguh tak ramah padanya dan sering sinis atas karya-karyanya. Alam tak pernah bilang "ya" untuk sebuah teori, paling banter ia berkata "mungkin" dan paling sering adalah menjawab "tidak". (Albert Einstein, 1905)

Berangkat dari pengalaman melakukan proses pembelajaran fisika di MAN Majalaya pada tahun 2004, kemudian muncul gagasan praktis melakukan penelitian tindakan kelas (Classroom Action Research) yang berjudul "Penerapan Pendekatan Pembelajaran Fisika Bemuatan Nilai (Imtaq) serta Implikasinya Terhadap Prestasi dan Sikap Belajar Siswa". Penelitian ini dilakukan di kelas 2 MAN Majalaya pada Pokok Bahasan Tata Surya dan Jagat Raya.

Menemukenali Masalah Pembelajaran di Kelas

Setelah melakukan proses perenungan (refleksi) dan kaji ulang (evaluasi) selama melakukan proses pembelajaran fisika di MAN Majalaya, ternyata proses pembelajaran fisika yang diterapkan di kelas 2 MAN Majalaya belum membawa perubahan yang positif bagi kualitas pembelajaran siswa (kelas 2-3 dan 2-4). Dari evaluasi dan perenungan, muncul berbagai temuan berupa daftar permasalahan-permasalahan pembelajaran di kelas.

Perenungan yang dilakukan kemudian ditindaklajuti oleh survey kecil dengan teknik wawancara dan penyebaran angket sederhana dengan tujuan untuk melihat respon siswa terhadap proses pembelajaran fisika yang dilakukan selama ini. Permasalahan yang ditemukan atau teridentifikasi diantaranya:

- Fakta nilai akademik dari test yang dilakukan rata-rata bernilai 5,54 (rendah) walaupun sebagian kecil siswa memiliki nilai diatas 6,00. fakta ini menunjukan l prestasi belajar bidang fisika di kelas 2-3 dan 2-4 di MAN Majalaya kurang memuaskan (rendah).

- Survey menunjukan sekitar 75% siswa di kelas menilai pembelajaran yang dilakukan menjenuhkan, fisika menyulitkan, tidak bersemangat, tidak menyenangkan tidak termotivasi, dan tidak memperoleh makna (nilai) keyakinan atau atau tidak ada nilai tambah lainnnya.

Berangkat dari kenyataan di atas, dapat diperoleh simpulan, bahwa kualitas pembelajaran di kelas masih rendah, disebabkan oleh penerapan pembelajaran fisika menggunakan pendekatan klasik, tidak adaptif, dan menjenuhkan yang dilakukan oleh guru fisika di kelas.

Setelah mendapatkan kesimpulan seperti yang dikemukan di atas, kemudian diambil sikap dan mencoba menyusun gagasan praktis untuk memperbaiki dan memecahkan permasalahan yang terjadi di ke kelas, berbekal pengetahuan mengenai konsepsi penelitian tindakan kelas (classroom action research), Kajian Al Qur'an (terjamahan) dan sarana yang dimiliki oleh pribadi (CD Harun Yahya, dan sekolah, kemudian diambil sikap untuk melakukan sebuah penelitian kecil sekaligus tindakan praktis pemecahan masalah pembejaran fisika dengan menerapkan pendekatan lain yang berbeda dan disesusaikan dengan lingkungan sosial sekolah.

Kemudian setelah ada gagasan, selanjutnya di diskusikan dengan guru dan pimpinan sekolah, setelah mendapat respon positif guru dan pimpinan sekolah. Konsepsi penelitian yang dilakukan adalah pendekatan pembelajaran fisika bermuatan nilai serta implikasinya terhadap prestasi dan belajar siswa. Konsepsi ini memadukan antara materi fisika dengan informasi-informasi Al Qur'an yang relevan dengan materi dan diperkuat oleh dokumentasi film documenter Harun Yahya.

Kemudian, dilakukanlah proses penelitian seperti kebiasaan belajar namun pendekatannya yang berbeda. Jadi, penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari proses pembelajaran biasa yang dilakukan di kelas, tidak menambah waktu pembelajaran tertentu.

Proses Penelitian Tindakan Kelas (PTK)

Siklus I (kesatu)

Tahap Perencanaan

Pada siklus pertama, tahap perencanaan dimulai dengan menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang berisikan tujuan, indikator pencapaian belajar, menyiapkan bahan-bahan Ajar, Instrumen wawancara, instrumen angket dan peralatan yang mendukung seperti TV, Al Qur'an dan Alat Evaluasi. Materi fisika yang dibahas adalah mengenai Tata Surya dan Jagat raya. Proses penelitian dilakukan di dua kelas.

Tahap Pelaksanaan

Tindakan pertama, diorientasikan pada upaya meningkatkan motivasi belajar, meningkatkan keyakinan,pendekatan pembejaran umum dimuati dengan informasi yang di jelaskan dalam Al Qur;an bahwa mempelajari fisika tata surya memiliki dan Jagat Raya memiliki keterkaitan dengan ayat-ayat yang ada dalam Al Qur'an (seperti Surat Al Qadr, AL Jalzalah, Surat Ad Dhukhan dll). Kemudian di akhir Pembelajaran dilakukan evaluasi bersama melalui proses tanya jawab, wawancara dan evaluasi kecil mengenai materi yang disampiakan

Refleksi Tindakan I :

Dari wawancara atau yang dilakukan diperoleh temuan-temuan yaitu ;

- Pendekatan pembelajaran yang dilakukan menambah motivasi siswa untuk belajar fisika

- Pendekatan yang dilakukan menambah wawasan, pengetahuan, nilai keyakinan materi fisika memiliki hubungan dengan Al Qur'an

- Ketika Proses evaluasi diperoleh nilai akademik fisika yang relatif bertambah.

Siklus II (Kedua)

Tahap Perencanaan

Pada siklus kedua, Perencanaan lebih difokuskan pada aspek sikap dan respon terhadap ketertarikan mengikuti pembelajaran, aspek sikap terhadap penghayatan nilai-nilai ketuhanan, dan aspek pada proses penyampaian materi.

Perencanaan seperti biasa namun pendekatan pembejalaran umum di perkuat dengan pemutaran Film dokumenter Harun Yahya tentang proses Asal Mula Jagat Raya yang dimuati juga dengan informasi Al Qur'an. Perencanaan ini dilakukan untuk lebih memotivasi siswa untuk belajar, berdiskusi dan mengetahui simulasi proses penciptaan jagat raya.

Tahap Pelaksanaan

Pada siklus kedua, melakukan pemutaran film documenter proses penciptaan jagat raya, dilanjutkan dengan pemberian materi tambahan, kemudian siswa diajak untuk berdiskusi setelah pemutaran film dilakukan. Kemudian dilakukan test /evaluasi dari dua materi yang dilakukan dari siklus 1 dan 2

Refleksi Tindakan kedua :

Dari siklus kedua ini diperoleh simpulan;

- Pembelajaran dengan menggunakan metode ini lebih menyenangkan dan tidak monoton,

- Pada aspek ketertarikan mengikuti materi pembelajaran jagat raya meningkat (90% setuju)

- Pada aspek penghayatan terhadap kebermaknaan materi dan nilai-nilai ketuhanan bertambah (95% siswa merespon positif)

- Pada aspek penerimaan penyampaian materi sekitar 97 % menyakan sangat merespon positif

- Kemudian evaluasi akademik menunjukan penambahan kuantitas nilai akademik dari rata-rata 5,54 menjadi 6,01.

Hambatan Melakukan PTK

Berangkat dari pengalaman yang dialami, ada beberapa hal yang menjadi hambatan-hambatan dalam melakukan PTK diantaranya

- Rendahnya kesadaran dan minat melakukan penelitian karena membutuhkan penguasaan kapasitas penelitian dan sumber daya dukungan. Padahal, PTK bisa dilakukan dengan metode dan prosedur yang sangat sederhana.

- Kadangkala kita belum memiliki kesadaran untuk mau berdiskusi, mau dikritik, bertanya pada siswa mengenai metode pembejaran yang dilakukan, seolah-olah kita sudah benar dan menjalankan fungsi guru/pengajar sebagaimana mestinya.

- Permasalahan rendahnya kualitas siswa (kognitif, apektif dan psikomotorik) kadang diletakan pada siswa/subjek didik. Padahal, posisi dan peran guru sangat menentukan keberhasilan subjek didik

- Keterbatasan sarana (pendukung) di sekolah bisa berdampak pada menurunnya minat untuk melakukan penelitian tindakan kelas di kelas

- Masih rendahnya dukungan Kebijakan pemerintah (pusat, provinsi dan kabupaten/kota)

- Masih rendahnya dukungan lembaga-lembaga pengelola pendidikan (depdiknas dan Depag, pimpinan sekolah) untuk meningkatkan kapasitas tenaga kependidikan, khususnya dukungan melakuka
n aksi-aksi penelitian bagi guru/pengajar ooo


Coretan Pelajar Artikel Pendidikan

Coretan Pelajar Artikel Pendidikan

Abstract:

This essay aims to overlook the implementation of English curriculum document at primary school level currently used by the educational ministry. According to the document, English in the primary schools is only an optional subject as part of local contents. As the consequence, the curriculum development of English should follow the same guideline of others local contents curricula which strongly emphasize the students' needs as well as the interest of the community. The examination of the curriculum and its implementation shows the wide gap between the expectation and the reality. Therefore, both aspects need to be considered in order to find more realistic approaches.

Introduction

The latest curriculum in Indonesian primary schools known as the 2004 Curriculum Framework was developed after a dramatic change in the governmental system in 2001 from centralised to decentralised government. This decentralization program is also called regional autonomy (otonomi daerah). Thus, the release of the 2004 curriculum framework has given a wider autonomy to regional governments to determine their educational policies. In order to implement this autonomy, the current Indonesian education system has adopted the competency-based teaching approach (Kurikulum Berbasis Kompetensi). In regard to this approach, Schneck (1978) argued that "competence-based education has much in common with such approaches to learning as performance-based instruction, mastery learning and individualized instruction. It is outcome-based and is adaptive to the changing needs of students, teachers and community." (Scheck, 1978, p vi cited in Richards, 2001 p. ).

To illustrate how such changing needs have been accommodated and implemented in the 2004 curriculum framework, this essay aims to examine the curriculum of English in the Indonesian primary schools. It is important to note that the notion 'curriculum' stated in this essay refers to White's curriculum definition or what Nunan called as a plan as this term is currently used by the Educational ministry (see also White, 1988 and Nunan, 1988). This essay is organised into two sections. The first section focuses on the examination of the related documents of English curriculum particularly with respect to the target learners, teachers, the institution, the community and the society, and their needs and interests. The second section investigates the extent to which the implementation of this curriculum has met those criteria. In addition, this essay also evaluates the possible mismatch between the curriculum documents and the real needs and interests of the learners and the teachers as well as provides some suggestions concerning this issue.

What is in the document?

The establishment of English in Indonesian primary schools curriculum was marked by the release of the renewed curriculum popularly known as the 1994 Curriculum. In this curriculum framework, English was placed as one alternative subject as a part of two local content (Muatan Lokal) subjects that need to be taught in the primary schools. As it was optional, schools may decide either to include or exclude English in their subjects list. In 2004, the curriculum was reviewed again and this renewed curriculum was called the 2004 Curriculum Framework . In this new curriculum, English is once again being emphasised, but its position is still as a local content and non-compulsory.

As mandated by the legislation, the curriculum of local content subjects must be developed by the schools (school-based curriculum development) namely Curriculum at the Educational Institution Level (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan or KTSP). Furthermore, the formation of this curriculum requires the collaboration between, schools, regional government and local community and should meet regional characteristics, needs and conditions. In implementing this policy, the educational ministry has set seven basic principles (see table 1) as a guideline for schools to develop their local content curriculum.

English In Indonesian Primary Schools

Table 1. Principles of curriculum development

1. Centralised to the potency, development, needs and interests of the students and their environment.
2. Varied and interconnected.
3. Responsive to a rapid development of science, arts and technology.
4. Relevant to students' everyday lives.
5. Integral and continuing.
6. Lifelong learning.
7. Balance between national and regional interests.

Source: Depdiknas, 2007

It is clear from these basic principles that the students' interests and needs theoretically become the major considerations in the curriculum development. Moreover, beside these principles, the educational ministry also provides a more specific guideline to be used to assist the local institutions in developing their local contents curricula. This guideline includes several criteria to be considered concerning the target students, the teachers, the institution, the community and the society and also their needs and interests (see depdiknas, 2007).

In regard to the target learners, this guideline has set at least five criteria that need to be taken into consideration in developing the local content curriculum including (i) the used material should match with the level of development of students including their current knowledge and thinking ability and the students' emotional and social development level; (ii) the learning and teaching activities should be convenient and do not add any burden to the students, e.g. by avoiding the homework; (iii) the program should also consider the current physical and psychological aspects of the students ; (iv) the material to be taught also has to be meaningful and useful for students in their everyday lives; and (v) teachers also need to involve the participation of students through their mental, physical and social activities in order to be able to select the appropriate teaching and learning strategies. In other words, in developing local content curricula, schools need to consider students' current knowledge and development level, learning difficulties, age, learning resources, and learning strategies.

The guideline has also given a specific account on respect to the teachers' needs and interests. According to the guideline, teachers should be given a wide authority in the selection of teaching methodologies, teaching resources and materials.

The institutional interests are accommodated by the government policy to place English as one of local content subjects. The educational ministry had acknowledged that the schools' capacity to teach English varied from one school to another and also among regions. The educational ministry has also recognized that not all schools have the resources to teach English, especially relating to the availability of English teachers. Therefore, schools do not require to teach English if they do not have adequate resources for it. In addition, for schools that decided to include English as a part of two local content subjects to be taught in primary schools, the educational ministry has also given the guideline for its implementation (see depdiknas, 2007). According to the guideline, if a school is not able to develop its own local content curriculum, it might seek assistance from other schools in the same region that have successfully developed the curriculum. However, if there are no reference schools in that region, a school may ask assistance from the Curriculum Development Team (Tim Pengembang Kurikulum-TPK) in that region or province.

Furthermore, the needs and interests of the community have been clearly accommodated by looking at the definition of the local contents itself. The Department of National Education has defined local contents as "the program activity that aims to develop (students) competency based on the unique needs, interests, and strengths of local regions in which its substantial could not be classified into the existing subjects" (free translation from Depdiknas 2007). Hence, the local content subjects should highlight the needs and interest of local regions. The government intention to emphasize on the interests of local community is also revealed in the special objectives of local contents set by the Department of National Education, which are: (i) for students to become more familiar with their environment and also their socio-cultural background, (ii) for students to have knowledge, ability and skills about their regions that are relevant to their needs and interests and also the surrounding community, and (iii) for students to demonstrate their attitude and behavior that exhibit their cultural values, and preserve and develop these values to support national development. To conclude, the needs and interests of local community have become the central issue in the local content program.

English In Indonesian Primary Schools

What is in the reality?

By looking at the curriculum documents about local contents presented in the previous discussion, it is obvious that the central government has given a full support to promote educational decentralisation which underlined the needs and interests of students as well as local regions. But in its implementation, this policy is still far from perfect. The following discussion will highlight some constrains that might affect the level of success of the implementation of English as one of the local content subjects in Indonesian primary schools.

Had students-teachers' needs and interests become the top priority of the implementation of English in the primary schools program?

Before English in the primary schools introduced in 1994, in practice, many primary schools, especially private schools had started this program. The inclusion of English subject in these schools was more like an 'icon' or symbol. Thus, schools that run this program were considered to be having a high-status. After English was formally recognized as one optional subject in the local contents in the 1994 Curriculum and again was emphasised in the 2004 Curriculum, more and more schools including state schools have followed this trend. Consequently, according to Cahyono, the implementation of English in the primary schools is still like a 'fashion' or 'prestige' so that they can be identified as the best schools (Cahyono 2008 cited in Surya 2008). This phenomenon, in fact, is one of the social, cultural & political contexts identified in the English language teaching (see Bretag, 2005). Bretag stated that "English has become the language of power and prestige" (Bretag, 2005 p. 5). As a result, this phenomenon has overshadowed the importance of students' needs and interests which are supposed to be the central issue in running this program.

Moreover, the English teaching in the primary schools has even had negative effects for students as the English teachers in those primary schools were mostly unqualified. The truth is that before 94' curriculum was introduced, the institution that was responsible for teacher training, which is Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (Teachers Training Institute) was not intended to produce primary school teachers, but the main concern was to produce high school teachers (Chandra, 2002). Furthermore, she argued that, even for high school teachers, especially for English teachers, the training program was considered as inadequate. This problem had serious impacts on students motivation, as Cahyono commented that incompetent teachers had given bad experience for students to learn language as some of them might have become 'phobia' of foreign language (Cahyono 2008 cited in Surya 2008).

In the mean time, the intention of the educational ministry to give a wider authority to the teachers in the selection of teaching methodologies, teaching resources, and materials, and also to participate in the formation of English curriculum did not gain a great deal of interests either. Based on Sutardi's interview with twenty English teachers in five major cities in Indonesia, he concluded that although these English teachers agreed to have some flexibilities in organizing the teaching material by adapting the students' needs, the majority of them were preferred to have and refer the national curriculum (see Sutardi 2005). They expected that the availability of national curriculum could answer some of their difficulties in teaching English in the primary schools, particularly concerning the difficulty of obtaining teaching materials.

Is English really what the local community needs?

Looking back at the definition of local content which was "the program activity that aims to develop (students) competency based on the unique needs, interests, and the strength of local regions in which its substantial could not be classified into the existing subjects" (Depdiknas, 2007), one important question that need to be raised is "has English really fitted this criterion?" The answer is yes, but in only a small part of the region. It is difficult to find the reasons of learning English that is associated with local community needs other than for tourism industry. For this reason, only regions that get in touch with international community such as Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Bali, and Medan that can be fit with this condition.

The next question is how about the other regions, do they need English? The answer could also be 'yes', but the community and students' desire to learn English in these regions could not fulfill the requirements of local content. In fact, all primary school students need to learn English if they want to compete equally with others in the globalisation era. Labeling English in the primary schools as a local content subject, in my opinion, has contributed to a wider education inequality, whereas the students who do not have the opportunity to learn English in their early age will be left behind from the others in their future education, as many scholars believed that age factor plays a major role in English acquisition (see e.g. Richards et al. 1987; Bialystok and Hakuta, 1999).

Evaluation

Based on the above discussion about the curriculum document of English in the primary schools and its implementation, there are several points that can be made:

(i) The curriculum document has shown the ideal aspects of educational decentralisation in regard to the regional autonomy, but its implementation has shown a serious breakdown of this policy. The major factor that contributed to the failure was the teacher factors. But, unfortunately, this issue did not receive sufficient attention in the current curriculum documents. Therefore it is important to provide more efforts concerning the teacher factors, and more importantly to include the procedures that support teachers' professional development through providing a training arrangement on the development of the curriculum, as the teachers' professionalism had become the central key affecting the breakdown. In addition to this, it is also critical to give more thought on providing more resources for the teachers in order to support the classroom teaching and learning.

(ii) Given the fact that learning English is vital for the preparation to face a global competition, all primary school students in all over the country share the same 'instrumental motivation' (For the discussion about the definition and types of motivation, see e.g. Dornyei, 2001). However, evaluating the current policy of the Indonesian government to place English as a local content subject was not relevant with both the students and community needs. Based on the current practice, only a small percentage of primary schools students had the opportunity to learn English. The disadvantages for the others who do not have this opportunity are huge, especially when they start the junior high school level where English becomes compulsory subject. For this reason, it is essential to consider English to become a compulsory subject in the primary schools in order to attain educational equality. Hence, despite a huge attention from the government to the students' interests as presented in current curriculum document, the students' motivation in learning English should be reconsidered.

(iii) The discussion also shows an enormous gap between the curriculum in the document and in the reality. In this regard, it is crucial to combine both aspects in the development of curriculum. Therefore, a further revision of the current document should take into account these two aspects.

References:

Bialystok, E. And Hakuta, K., 1999, "Confounded age: linguistic and cognitive factors in age differences for second language acquisition", In Birdsong, D. (ed.), Second language acquisition and critical period hypothesis, Lawrence Erlbaum associates, Publishers, New Jersey, pp. 161-81

Bretag, T. 2005, The social, cultural and political contexts of Teaching English to speakers of Other Languages, School of Management, Unisa

Chandra, A. 2002, Pengajaran bahasa Inggris di sekolah dasar, viewed 16 August 2008
Departemen Pendidikan Nasional/Depdiknas 2007, Materi Sosialisasi dan Pelatihan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Depdiknas, Jakarta

Dornyei, Z. 2001, Teaching and researching motivation, Longman, Harlow

Nunan, D. 1988, Designing tasks for the communicative classroom. Cambridge, Cambridge University Press

Richards, J. C, 2001, Curriculum development in language teaching. Cambridge. Cambridge University Press

Richards, J.C., Plat, J., and Weber, H., 1987, Longman dictionary of applied linguistics, Longman Group, Hong Kong

Surya, 2008, Bahasa Inggris hanya muatan lokal, akibatkan siswa SD phobia

Coretan Pelajar Artikel Pendidikan

Suatu program pembelajaran akan dapat mencapai hasil seperti yang diharapkan apabila direncanakan dengan baik. Ditengarai ada tiga hal yang menjadi perhatian banyak pihak dalam kegiatan pembelajaran. materi apa yang akan diajarkan, bagaimana cara mengajarkan serta bagaimana cara mengetahui bahwa proses pembelajaran dapat berlangsung dengan efektif.

Pertama, Kurikulum Tingkat Satuan Pendiidkan dirancang untuk dapat menghasilkan lulusan yang kompeten memiliki pengetahuan, ketrampilan, sikap dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak sesuai dengan tiga hal pokok dalam pembelajaran.

Kurikulum IPA pada Sekolah Menengah Pertama (SMP) juga dirancang sebagai pembelajaran yang berdimensi kompetensi. Sebab, IPA memegang peranan penting sebagai dasar pengetahuan untuk mengungkap bagaimana fenomena alam terjadi. Dengan begitu, IPA menjadi sangat penting dalam kehidupan manusia sebagai bagian dari pengetahuan yang harus dimiliki memasuki era informasi dan teknologi. IPA sekaligus memberi kontribusi besar bagi pengetahuan yang terkait dengan isu-isu global dan mutakhir

Standar kompetensi IPA untuk lulusan SMP dirumuskan dengan mempertimbangkan standar kompetensi yang telah dikuasai lulusan sekolah dasar dan juga tingkat perkembangan mental peserta didik SMP. Pengembangan kurikulum IPA merespon secara proaktif berbagai perkembangan informasi, ilmu pengetahuan, dan teknologi, serta tuntutan desentralisasi. ini dilakukan untuk meningkatkan relevansi program pembelajaran dengan keadaan dan kebutuhan setempat.

Lebih lanjut, IPA umumnya memiliki peran penting dalam peningkatan mutu pendidikan, khususnya di dalam menghasilkan peserta didik yang berkualitas, yaitu manusia yang mampu berfikir kritis, kreatif, logis dan berinisiatif dalam menanggapi isu di masyarakat yang diakibatkan oleh dampak perkembangan IPA dan teknologi. Sehingga pengembangan kemampuan peserta didik dalam bidang IPA merupakan salah satu kunci keberhasilan peningkatan kemampuan dalam menyesuaikan diri dengan perubahan dunia memasuki era teknologi informasi.

Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendiidkan (KTSP) pokok pembelajaran IPA memiliki materi yang memuat kajian dimensi objek, tingkat organisasi objek dan tema atau persoalan aspek fisis, kimia dan biologi. Pada aspek biologi, IPA mengkaji berbagai persoalan yang berkait dengan berbagai fenomena pada makhluk hidup berbagai tingkat organisasi kehidupan dan interaksinya dengan faktor lingkungan. Untuk aspek fisis, IPA memfokuskan diri pada benda tak hidup. Untuk aspek kimia, IPA mengkaji berbagai fenomena atau gejala kimia baik pada makhluk hidup maupun benda tak hidup yang ada di alam semesta.

Meminjam bahasanya Bentley dan Watts bahawa Pengajaran IPA dikembangkan berdasarkan persoalan atau tema IPA untuk dapat dikaji dari aspek kemampuan peserta didik yang mencakup aspek mengkomunikasikan konsep secara ilmiah, aspek pengembangan konsep dasar IPA, dan pengembangan kesadaran IPA dalam konteks ekonomi dan social . Konsep pembelajaran IPA tersebut berarti mengandung seluruh aspek yang berhubungan dengan pengetahuan untuk dapat menanggapi isu lokal, nasional, kawasan, dunia, sosial, ekonomi, lingkungan dan etika, serta menilai secara kritis perkembangan dalam bidang IPA dan teknologi serta dampaknya.

Agar peserta didik SMP dapat mempelajari IPA dengan benar, maka IPA harus dikenalkan secara utuh, baik menyangkut objek, persoalan, maupun tingkat organisasi dari benda-benda yang ada di dalam alam semesta. Dengan begitu agar peserta didik SMP dapat mengenal kebulatan IPA sebagai ilmu, maka seluruh tema dan persoalan IPA pada berbagai jenis objek dan tingkat organisasinya hendaknya kajiannya luas memenuhi keutuhannya. Dengan kata lain bahwa IPA sebagai mata pelajaran di SMP hendaknya diajarkan secara utuh atau terpadu, tidak dipisah-pisahkan antara biologi, fisika, kimia dan bumi antariksa.

Pada konteksnya IPA di SMP diajarkan dengan pemisahan antara biologi, fisika dan kimia. Ketidakutuhan konsep IPA dalam pembelajarannya sebagai ilmu yang mencakup aspek IPA, teknologi dan masyarakat tidak terlingkupi, juga secara psikologis berat bagi peserta didik SMP. Padahal, mengingat perkembangan mental peserta didik usia SMP oleh Piaget sebagian besar pada taraf transisi dan fase kongkrit ke fase operasi formal, maka diharapkan sudah mulai dilatih untuk mampu berpikir abstrak. Artinya, pembelajaran IPA di SMP secara utuh mengajak peserta didiknya untuk mulai ke arah berpikir abstrak dengan mengenalkan IPA secara utuh dengan harapan muncul upaya penyelidikan-penyelidikan ilmiah.

Menjadikan materi IPA di SMP secara terpadu seperti yang digariskan oleh Kurikulum KTSP semata untuk merespon pertanyaan kritis mengenai materi IPA sebelumnya yang hanya menekankan pada "subject matter oriented program". Sehingga, materi IPA kurikulum KTSP untuk SMP didesain untuk menjawab persoalan-persoalan pada masalah-masalah global. Sayangnya, sistem pendidikan nasional secara nyata sampai saat ini belum melahirkan secara khusus guru IPA, melainkan menghasilkan guru biologi, kimia dan fisika. Untuk itulah IPA di SMP diajarkan secara terpisah sekaligus mengakomodasi keberadaan guru biologi dan fisika.


Implementasi Pembelajaran IPA

Landasan filosofis pembelajaran IPA terpadu ialah filsafat pendidikan Progresivisme yang dikembangkan oleh para ahli pendidikan seperti John Dewey, William Kilpatrick, George Count, dan Harold Rugg diawal abad 20 . Progresvisme merupakan pendidikan yang berpusat pada siswa dan memberi penekanan lebih besar pada kreativitas, aktivitas, belajar "naturalistik", hasil belajar "dunia nyata" dan juga pengalaman teman sebaya.

Pembelajaran IPA terpadu merupakan konsep pembelajaran IPA dengan situasi lebih alami dan situasi dunia nyata, serta mendorong siswa membuat hubungan antar cabang IPA dan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan sehari hari. Pembelajaran IPA terpadu merupakan pembelajaran bermakna yang memungkinkan siswa menerapkan konsep-konsep IPA dan berpikir tingkat tinggi dan memungkinkan mendorong siswa peduli dan tanggap terhadap lingkungan dan budayanya.

Dalam pembelajaran IPA hendaknya guru dapat merancang dan mempersiapkan suatu pembelajaran dengan memotivasi awal sehingga dapat menimbulkan suatu pertanyaan. Dengan begitu, guru yang bertugas dapat mendorong, membimbing dan menilai kemampuan berpikir siswa dalam melaksanakan pembelajaran berdasarkan inkuari. Ciri utama pembelajaran IPA adalah dimulai dengan pertanyaan atau masalah dilanjutkan dengan arahan guru menggali informasi, mengkonfirmasikan dengan pengetahuan yang sudah dimiliki dan mengarahkan pada tujuan apa yang belum dan harus diketahui. Jadi terlihat bahwa siswa akan dapat menemukan sendiri jawaban dari masalah atau pertanyaan yang timbul diawal pembelajaran. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh diharapkan tidak dengan jalan mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi dengan jalan menemukan dan menggeneralisasi sendiri sebagai hasil kemandiriannya.

Dengan begitu, untuk pembelajaran IPA hendaknya dilakukan dalam kelompok-kelompok kecil yang anggotanya heterogen, untuk dapat bekerja sama, saling berinteraksi dan mendiskusikan hasil secara bersama sama, saling menghargai pendapat teman, sampai dapat memutuskan kesimpulan yang disepakati bersama.

Coretan Pelajar Artikel Pendidikan

 Pengembangan KBK Melalui Strategi Pembelajaran Kontekstual
Dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia yang semakin terpuruk dengan fenomena lulusan yang kurang qualified, pemerintah telah merumuskan kurikulum berbasis kompetensi. Pada tahun 2004 ini, pemerintah akan menerapkan kurikulum berbasis kompetensi secara serentak di sekolah-sekolah setelah melalui uji coba sejak tahun 2001 di beberapa sekolah tertentu.

KBK memiliki konsep pendekatan pembelajaran yang berbeda dengan kurikulum 1994, yaitu berbasis kompetensi dimana fokus program sekolah adalah pada siswa serta apa yang akan dikerjakan oleh mereka dengan memperhatikan kecakapan hidup (life skill) dan pembelajaran kontekstual. Dalam pengembangannya, seluruh elemen sekolah dan masyarakat perlu terlibat secara langsung, antara lain kepala sekolah, komite sekolah, guru, karyawan, orang tua siswa serta siswa.

Sebuah kurikulum tidak hanya sekedar instruksi pembelajaran yang disusun oleh pemerintah untuk diterapkan di sekolah masing-masing. Sinclair (2003) menegaskan bahwa kurikulum yang baik adalah yang memberi keleluasaan bagi sekolah untuk mengakomodasikan kebutuhan-kebutuhan khusus peserta didik sesuai tuntutan lingkungan masyarakatnya. Oleh karena itu, sekolah memiliki wewenang penuh dalam mengimplementasikan KBK dalam proses belajar mengajar.

Salah satu unsur terpenting dalam penerapan KBK sangat tergantung pada pemahaman guru untuk menerapkan strategi pembelajaran kontekstual di dalam kelas. Akan tetapi, fenomena yang ada menunjukkan sedikitnya pemahaman guru mengenai strategi ini. Oleh karena itu diperlukan suatu model pengajaran dengan menggunakan pembelajaran kontekstual yang mudah dipahami dan diterapkan di kelas secara sederhana.

Pembelajaran kontekstual didasarkan pada hasil penelitian John Dewey (1916) yang menyimpulkan bahwa siswa akan belajar dengan baik jika apa yang dipelajari terkait dengan apa yang telah diketahui dan dengan kegiatan yang atau peristiwa yang akan terjadi disekelilingnya. Pembelajaran ini menekankan pada daya pikir yang tinggi, transfer imu pengetahuan, mengumpulkan dan menganalisis data, memecahkan masalah-masalah tertentu baik secara individu maupun kelompok

Dalam kurikulum berbasis kompetensi, guru dapat menggunakan strategi pembelajaran kontekstual dengan memperhatikan beberapa hal, yaitu: memberikan kegiatan yang bervariasi sehingga dapat melayani perbedaan individual siswa, lebih mengaktifkan siswa dan guru, mendorong berkembangnya kemampuan baru, menimbulkan jalinan kegiatan belajar di sekolah, rumah dan lingkungan masyarakat. Melalui pembelajaran ini, siswa menjadi lebih responsif dalam menggunakan pengetahuan dan ketrampilan di kehidupan nyata sehingga memiliki motivasi tinggi untuk belajar.

Beberapa strategi pengajaran yang dapat dikembangkan oleh guru melalui pembelajaran kontekstual, antara lain:

1. Pembelajaran berbasis masalah

Sebelum memulai proses belajar-mengajar di dalam kelas, siswa terlebih dahulu diminta untuk mengobservasi suatu fenomena terlebih dahulu. Kemudian siswa diminta untuk mencatat permasalahan-permasalahan yang muncul. Setelah itu, tugas guru adalah merangsang siswa untuk berpikir kritis dalam memecahkan masalah yang ada. Tugas guru adalah mengarahkan siswa untuk bertanya, membuktikan asumsi, dan mendengarkan perspektif yang berbeda dengan mereka.

2. Memanfaatkan lingkungan siswa untuk memperoleh pengalaman belajar

Guru memberikan penugasan yang dapat dilakukan di berbagai konteks lingkungan siswa antara lain di sekolah, keluarga, dan masyarakat. Penugasan yang diberikan oleh guru memberikan kesempatan bagi siswa untuk belajar di luar kelas. Misalnya, siswa keluar dari ruang kelas dan berinteraksi langsung untuk melakukan wawancara. Siswa diharapkan dapat memperoleh pengalaman langsung tentang apa yang sedang dipelajari. Pengalaman belajar merupakan aktivitas belajar yang harus dilakukan siswa dalam rangka mencapai penguasaan standar kompetensi, kemampuan dasar dan materi pembelajaran.

3. Memberikan aktivitas kelompok

Aktivitas belajar secara kelompok dapat memperluas perspektif serta membangun kecakapan interpersonal untuk berhubungan dengan orang lain. Guru dapat menyusun kelompok terdiri dari tiga, lima maupun delapan siswa sesuai dengan tingkat kesulitan penugasan.

4. Membuat aktivitas belajar mandiri

Peserta didik tersebut mampu mencari, menganalisis dan menggunakan informasi dengan sedikit atau bahkan tanpa bantuan guru. Supaya dapat melakukannya, siswa harus lebih memperhatikan bagaimana mereka memproses informasi, menerapkan strategi pemecahan masalah, dan menggunakan pengetahuan yang telah mereka peroleh. Pengalaman pembelajaran kontekstual harus mengikuti uji-coba terlebih dahulu; menyediakan waktu yang cukup, dan menyusun refleksi; serta berusaha tanpa meminta bantuan guru supaya dapat melakukan proses pembelajaran secara mandiri (independent learning).

5. Membuat aktivitas belajar bekerjasama dengan masyarakat

Sekolah dapat melakukan kerja sama dengan orang tua siswa yang memiliki keahlian khusus untuk menjadi guru tamu. Hal ini perlu dilakukan guna memberikan pengalaman belajar secara langsung dimana siswa dapat termotivasi untuk mengajukan pertanyaan. Selain itu, kerja sama juga dapat dilakukan dengan institusi atau perusahaan tertentu untuk memberikan pengalaman kerja. Misalnya meminta siswa untuk magang di tempat kerja.

6. Menerapkan penilaian autentik

Dalam pembelajaran kontekstual, penilaian autentik dapat membantu siswa untuk menerapkan informasi akademik dan kecakapan yang telah diperoleh pada situasi nyata untuk tujuan tertentu. Menurut Johnson (2002: 165), penilaian autentik memberikan kesempatan luas bagi siswa untuk menunjukkan apa yang telah mereka pelajari selama proses belajar-mengajar. Adapun bentuk-bentuk penilaian yang dapat digunakan oleh guru adalah portfolio, tugas kelompok, demonstrasi, dan laporan tertulis.

Portfolio merupakan kumpulan tugas yang dikerjakan siswa dalam konteks belajar di kehidupan sehari-hari. Siswa diharapkan untuk mengerjakan tugas tersebut supaya lebih kreatif. Mereka memperoleh kebebasan dalam belajar. Selain itu, portfolio juga memberikan kesempatan yang lebih luas untuk berkembang serta memotivasi siswa. Penilaian ini tidak perlu mendapatkan penilaian angka, melainkan melihat pada proses siswa sebagai pembelajar aktif. Sebagai contoh, siswa diminta untuk melakukan survey mengenai jenis-jenis pekerjaan di lingkungan rumahnya.

Tugas kelompok dalam pembelajaran kontekstual berbentuk pengerjaan proyek. Kegiatan ini merupakan cara untuk mencapai tujuan akademik sambil mengakomodasi perbedaan gaya belajar, minat, serta bakat dari masing-masing siswa. Isi dari proyek akademik terkait dengan konteks kehidupan nyata, oleh karena itu tugas ini dapat meningkatkan partisipasi siswa. Sebagai contoh, siswa diminta membentuk kelompok proyek untuk menyelidiki penyebab pencemaran sungai di lingkungan siswa.

Dalam penilaian melalui demonstrasi, siswa diminta menampilkan hasil penugasan kepada orang lain mengenai kompetensi yang telah mereka kuasai. Para penonton dapat memberikan evaluasi pertunjukkan siswa. Sebagai contoh, siswa diminta membentuk kelompok untuk membuat naskah drama dan mementaskannya dalam pertunjukan drama.

Bentuk penilaian yang terakhir adalah laporan tertulis. Bentuk laporan tertulis dapat berupa surat, petunjuk pelatihan teknis, brosur, essai penelitian, essai singkat.

Menurut Brooks&Brooks dalam Johnson (2002: 172), bentuk penilaian seperti ini lebih baik dari pada menghafalkan teks, siswa dituntut untuk menggunakan ketrampilan berpikir yang lebih tinggi agar dapat membantu memecahkan masalah yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari.

Berdasarkan penjabaran yang telah dikemukakan diatas, kurikulum berbasis kompetensi perlu dikembangkan supaya dapat diterapkan secara efektif di dalam proses belajar mengajar. Guru sebagai pelaksana kurikulum dapat menerapkan strategi pembelajaran kontekstual supaya dapat memberikan bentuk pengalaman belajar. Dengan demikian, siswa diharapkan dapat memiliki kecakapan untuk memecahkan permasalahan hidup sesuai dengan kegiatan belajar yang mengarahkan siswa untuk terlibat secara langsung dalam konteks rumah, masyarakat maupun tempat kerja.

Keberhasilan penerapan pembelajaran kontekstual perlu melibatkan berbagai pihak. Dalam hal ini, penulis menyarankan supaya pihak sekolah dan masyarakat memiliki kesadaran akan pentingnya beberapa hal, yaitu:sumber belajar tidak hanya berasal dari buku dan guru, melainkan juga dari lingkungan sekitar baik di rumah maupun di masyarakat; strategi pembelajaran kontekstual memiliki banyak variasi sehingga memungkinkan guru untuk mengembangkan model pembelajaran yang berbeda dengan keajegan yang ada; pihak sekolah dan masyarakat perlu memberikan dukungan baik materiil maupun non-materiil untuk menunjang keberhasilan proses belajar siswa.

Coretan Pelajar Artikel Pendidikan


Keliatannya kok agak berlebihan menanyakan pendidikan itu sebenarnya milik siapa sih..., ya jelas milik masyarakat dong. betul milik masyarakat, tapi masyarakat yang mana...? Mungkin pertanyaan ini akan mengawali sebuah perombakan mythos kita tentang pendidikan milik masyarakat itu sudah kita miliki apa belum?.
Pendidikan adalah barang yang universal, harus bisa di jangkau oleh yang miskin apalagi yang kaya and harus bisa mengimbangi pola pikir yang sangat sederhana apalagi yang sangat maju. Beranjak dari pola tersebut, sangat clear bahwa pendidikan itu selayknyalah berawal dari masyarakat, dijalankan oleh masyarakat and untuk masyarakat. Tapi apa benar ...
Pendidikan di indonesia sekarang, kalau mau jujur dapat dikatakan sudah merambak ke daerah-daerah terpencil dan otomatis program persekolahan untuk masyarkat sudah mendekati titik puncak suksesnya. Di lain sisi kalau mau lebih jujur lagi, apakah pendidikan tersebut telah mencapai hasrat orang banyak... mungkin ya tapi mungkin juga tidak. Dengan beragam culture, ethnik, suku, agama dan pertimbangan lain-lain kiranya sangat sukar bagi pemerintah untuk dapat mengimbangi kedinamisan gerak dari pendidikan tersebut. Akan samakah pola pendidikan yang digunakan pada daerah pertanian dengan pola pendidikan daerah industri? Atau akan samakah curriculum yang digunakan untuk masyarakat yang tinggal di bawah garis kemiskinan dengan curriculum yang digunakan pada kalangan elit. Tentunya tidak! berawal dari sinilah, penulis kira, terjadinya kesuksesan pembelajara di satu sisi dengan menomor-duakan kesuksesan itu di isi lain.
Masih rendah supervisi ke daerah dan enggannya menerapkan pola baru dalam ke-berbedaan kurrikulum menjadi unsur penyebab mengapa terjadi perbedaan and pengelompokan dalam tingkat pencapaian belajar.
Jangan takut berbeda! Karena berbeda itu justru yang memperkuat sistem pendidikan kita.


Sudah saatnya anak-anak sekolah, baik itu anak Sekolah Menengah Umum, Sekolah Menengah Pertama maupun Sekolah Dasar, diajarkan masalah lingkungan hidup, khususnya lingkungan alam. Saya mencoba keluar masuk kesekolah-sekolah, baik itu SMU, SMP maupun SD, ada kecenderungan mereka sangat rendah sekali kepeduliannya terhadap lingkungan alam. Hal ini sungguh sangat disayangkan.
Saya tidak akan menyalahkan siapapun dalam hal ini, karena memang kita semua punya andil kesalahan yang membuat anak-anak itu kurang sekali kepeduliannya terhadap lingkungan alam, tidak terlepas juga saya yang berkiprah dalam kegiatan dilingkungan hidup.
Untuk mengatasi hal itu, saya sudah mencoba mengajak beberapa sekolah yang ada di Bandung untuk berpartisipasi dalam penanganan hal tersebut.
Beberapa LSM yang bergerak di bidang lingkungan dan Kelompok Pecinta Alam yang banyak sekarang ini, saya ajak, supaya mereka pro-aktif menawarkan program-programnya yang sifatnya gratis dan tidak membebankan pada pihak Sekolah.
Karena dengan hal tersebut mudah-mudahan pendidikan lingkungan ini akan mencapai sasarannya secara tepat.


Coretan Pelajar Artikel Pendidikan

Kita mengenal berbagai macam kurikulum ditinjau dari berbagai aspek:
Ditinjau dari konsep dan pelaksanaannya, kita mengenal beberapa istilah kurikulum sebagai berikut:
  • Kurikulum ideal, yaitu kurikulum yang berisi sesuatu yang ideal, sesuatu yang dicita-citakan sebagaimana yang tertuang di dalam dokumen kurikulum
  • Kurikulum aktual, yaitu kurikulum yang dilaksanakan dalam proses pengajaran dan pembelajaran. Kenyataan pada umumnya memang jauh berbeda dengan harapan. Namun demikian, kurikulum aktual seharusnya mendekati dengan kurikulum ideal. Kurikulum dan pengajaran merupakan dua istilah yang tidak dapat dipisahkan. Kurikulum merujuk kepada bahan ajar yang telah direncanakan yang akan dilaksanakan dalam jangka panjang. Sedang pengajaran merujuk kepada pelaksanaan kurikulum tersebut secara bertahap dalam belajar mengajar.    
  • Kurikulum tersembunyi (hidden curriculum), yaitu segala sesuatu yang terjadi pada saat pelaksanaan kurikulum ideal menjadi kurikulum faktual. Segala sesuatu itu bisa berupa pengaruh guru, kepala sekolah, tenaga administrasi, atau bahkan dari peserta didik itu sendiri. Kebiasaan guru datang tepat waktu ketika mengajar di kelas, sebagai contoh, akan menjadi kurikulum tersembunyi yang akan berpengaruh kepada pembentukan kepribadian peserta didik.

Berdasarkan struktur dan materi mata pelajaran yang diajarkan, kita dapat membedakan:
  • Kurikulum terpisah-pisah (separated curriculum), kurikulum yang mata pelajarannya dirancang untuk diberikan secara terpisah-pisah. Misalnya, mata pelajaran sejarah diberikan terpisah dengan mata pelajaran geografi, dan seterusnya.
  • Kurikulum terpadu (integrated curriculum), kurikulum yang bahan ajarnya diberikan secara terpadu. Misalnya Ilmu Pengetahuan Sosial merupakan fusi dari beberapa mata pelajaran sejarah, geografi, ekonomi, sosiologi, dan sebagainya. Dalam proses pembelajaran dikenal dengan pembelajaran tematik yang diberikan di kelas rendah Sekolah Dasar. Mata pelajaran matematika, sains, bahasa Indonesia, dan beberapa mata pelajaran lain diberikan dalam satu tema tertentu. 
  • Kurikulum terkorelasi (corelated curriculum), kurikulum yang bahan ajarnya dirancang dan disajikan secara terkorelasi dengan bahan ajar yang lain. 

Berdasarkan pengembangnya dan penggunaannya, kurikulum dapat dibedakan menjadi:
  • Kurikulum nasional (national curriculum), yakni kurikulum yang disusun oleh tim pengembang tingkat nasional dan digunakan secara nasional.
  • Kurikulum negara bagian (state curriculum), yakni kurikulum yang disusun oleh masing-masing negara bagian, misalnya di masing-masing negara bagian di Amerika Serikat.
  • Kurikulum sekolah (school curriculum), yakni kurikulum yang disusun oleh satuan pendidikan sekolah. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) merupakan kurikulum sekolah. Kurikulum sekolah lahir dari keinginan untuk melakukan diferensiasi dalam kurikulum.

Pendidikan inklusi mempunyai pengertian yang beragam.
Stainback dan Stainback (1990) mengemukakan bahwa: sekolah inklusi adalah sekolah yang menampung semua siswa di kelas yang sama. Sekolah ini menyediakan program pendidikan yang layak, menantang, tetapi sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan setiap siswa, maupun bantuan dan dukungan yang dapat diberikan oleh para guru agar anak-anak berhasil. Lebih dari itu, sekolah inklusi juga merupakan tempat setiap anak dapat diterima, menjadi bagian dari kelas tersebut, dan saling membantu dengan guru dan teman sebayanya, maupun anggota masyarakat lain agar kebutuhan individualnya dapat terpenuhi.
Selanjutnya, Staub dan Peck (1995) menyatakan bahwa: pendidikan inklusi adalah penempatan anak berkelainan tingkat ringan, sedang, dan berat secara penuh di kelas reguler. Hal ini menunjukkan bahwa kelas reguler merupakan tempat belajar yang relevan bagi anak berkelainan, apapun jenis kelainannya dan bagaimanapun gradasinya. Sementara itu, Sapon-Shevin (O’Neil, 1995) menyatakan bahwa pendidikan inklusi sebagai sistem layanan pendidikan yang mempersyaratkan agar semua anak berkelainan dilayani di sekolah-sekolah terdekat, di kelas reguler bersama-sama teman seusianya. Oleh karena itu, ditekankan adanya perombakan sekolah, sehingga menjadi komunitas yang mendukung pemenuhan kebutuhan khusus setiap anak, sehingga sumber belajar menjadi memadai dan mendapat dukungan dari semua pihak, yaitu para siswa, guru, orang tua, dan masyarakat sekitarnya.
Melalui pendidikan inklusi, anak berkelainan dididik bersama-sama anak lainnya (normal) untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya (Freiberg, 1995). Hal ini dilandasi oleh kenyataan bahwa di dalam masyarakat terdapat anak normal dan anak berkelainan yang tidak dapat dipisahkan sebagai suatu komunitas.
Penelitian tentang inklusi telah banyak dilakukan di negara-negara barat sejak 1980-an, namun penelitian yang berskala besar dipelopori oleh the National Academy of Sciences di Amerika Serikat. Hasilnya menunjukkan bahwa klasifikasi dan penempatan anak berkelainan di sekolah, kelas atau tempat khusus tidak efektif dan diskriminatif. Hasil analisis yang dilakukan oleh Carlberg dan Kavale (1980) terhadap 50 buah penelitian menunjukkan bahwa pendidikan inklusi berdampak positif, baik terhadap perkembangan akademik maupun sosial anak berkelainan dan teman sebayanya.
Penyelenggaraan Pendidikan inklusif di Indonesia sampai saat ini memang masih mengundang kontroversi (Sunardi, 1997). Namun praktek sekolah inklusif memiliki berbagai manfaat. Misalnya adanya sikap positif bagi siswa berkelainan yang berkembang dari komunikasi dan interaksi dari pertemanan dan kerja sebaya. Siswa belajar untuk sensitif, memahami, menghargai, dan menumbuhkan rasa nyaman dengan perbedaan individual. Selain itu, anak berkelainan belajar keterampilan sosial dan menjadi siap untuk tinggal di masyarakat karena mereka dimasukkan dalam sekolah umum. Dan dengan sekolah inklusi, anak terhindar dari dampak negatif dari sekolah segregasi, antara lain kecenderungan pendidikannya yang kurang berguna untuk kehidupan nyata, label “cacat” yang memberi stigma pada anak dari sekolah segregasi membuat anak merasa inferior, serta kecilnya kemungkinan untuk saling bekerjasama, dan menghargai perbedaan.
Manfaat sekolah inklusi bukan hanya dirasakan oleh si anak, namun berdampak pula bagi masyarakat. Dampak yang paling esensial adalah sekolah inklusi mengajarkan nilai sosial berupa kesetaraan. Berdasarkan pengalaman dari sekolah segregasi, anak berkelainan disorot sebagai ancaman bagi masyarakat, maka dari itu harus dipisahkan, dan dikontrol oleh sekolah, bukan dibantu.
Selain belum banyak bukti empiris yang mendukung asumsi bahwa layanan pendidikan khusus yang diberikan di kelas segregasi menunjukkan hasil yang lebih positif, biaya penyelenggaraan sekolah segregasi relatif lebih mahal dari pada sekolah umum. Lagipula, banyak anak berkelainan yang tidak mampu memperoleh pendidikan karena tidak tersedia sekolah khusus yang dekat, sehingga menjadikan pendidikan inklusi sebagai jawaban kontemporer bagi anak-anak berkelainan dan berkebutuhan khusus.
Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar di kelas inklusif secara umum sama dengan pelaksanaan kegiaan belajar-mengajar di kelas reguler. Namun demikian. karena di dalam kelas inklusif di samping terdapat anak normal juga terdapat anak luar biasa yang mengalami kelainan/penyimpangan (baik phisik, intelektual, sosial, emosional, dan/atau sensoris neurologis) dibanding dengan anak normal, maka dalam kegiatan belajar-mengajar guru yang mengajar di kelas inklusif di samping menerapkan prinsip-prinsip umum juga harus mengimplementasikan prinsip-prinsip khusus sesuai dengan kelainan anak.
Dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar hendaknya disesuaikan dengan model penempatan anak luar biasa yang dipilih, penempatan anak luar biasa di sekolah inklusif dapat dilakukan dengan berbagai model sebagai berikut:
  1. Kelas reguler (inklusi penuh)
  2. Kelas reguler dengan cluster
  3. Kelas reguler dengan pull out
  4. Kelas reguler dengan cluster dan pull out
  5. Kelas khusus dengan berhagai pengintegrasian
  6. Kelas khusus penuh.
Kegiatan belajar mengajar di kelas inklusif akan berbeda baik dalam strategi, kegiatan media, dan metoda. Beberapa kegiatan belajar mungkin dilakukan berdasarkan literatur-literatur tertentu, sementara yang lainnya belajar yang sama akan lebih efektif apabila melalui observasi dan eksperimen. Beberapa anak memerlukan alat bantu tulis untuk mengingat sesuatu, mungkin yang lainnya cukup dengan hanya mendengarkan. Beberapa sisa mungkin memerlukan kertas dari pensil untuk mengingat suatu hubungan tertentu. sementara beberapa sisa lainnya cukup mengingat dengan hanya melihat saja. Beberapa sisa mungkin lebih senang belajar secara individual, sedangkan yang lainnya lebih senang secara berkelompok, Hilda Taba mengemukakan, bahwa berbedanya kebutuhan individu berbeda pula di dalam teknik belajar dalam upaya mengemhangkan dirinya. Dewasa ini isitilah strategi belajar banyak dipergunakan di dalam teori kognitif dan penelitian. Hal itu berhubungan dengan strategi individu dalam hal pemusatan perhatian, pemecahan masalah, mengingat dan mengawasi proses belajar dan pemecahan masalah.
Hambatan belajar dapat berasal dan kesulitan menentukan strategi belajar dan metoda belajar lainnya sebagai akibat dan faktor-faktor biologis, psikologis, lingkungan, atau gabungan dan beberapa faktor tersebut. Sebagai contoh gangguan sensori seperti hilangnya penglihatan atau pendengaran, merupakan hambatan dalam memperoleh masukkan informasi dan luar berfungsi minimal otak mungkin akan berakibat yang cukup serius terhadap konsentrasi.
Pelaksanaan kegiatan belajar menjadi model kelas tertentu mungkin berbeda dengan pelaksanaan kegiatan belajar mengajar pada model kelas yang lain. Pada model Kelas Reguler (Inklusi Penuh), bahan belajar antara anak luar biasa dengan anak normal mungkin tidak berbeda secara signifikan namun pada model Kelas Reguler dengan Cluster, bahan belajar antara anak luar biasa dengan anak normal biasanya tidak sama, bahkan antara sesama anak luar biasa pun dapat berbeda. Oleh karena itu, setelah ditetapkan model penempatan anak luar biasa, yang perlu dilakukan berikutnya dalam pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar pada kelas inklusif antara lain seperti di bawah ini.
  1. Penempatan Anak Tunalaras di Kelas Inklusi
  2. Pendidikan sangat dibutuhkan bagi anak-anak untuk mencapai kesejahteraan sosialnya. Tak terkecuali anak-anak yang kurang beruntung baik dalam segi emosi dan soaial (tunalaras). Namun kenyataan di lapangan, anak-anak yang kurang beruntung dan berkebutuhan khusus menjadi anak yang dapat dikatakan mendapat pengecualian. Rencana pendidikan nasional, pendidikan untuk belum semua terpenuhi. Sebanyak 49.647 anak berkebutuhan khusus dari total sekitar satu juta anak berkebutuhan khusus yang dapat mengenyam pendidikan. Eksklusivitas dalam pendidikan menutup kesempatan bagi anak berkebutuhan khusus dalam memperoleh pendidikan. Sikap eksklusivitas semakin membuat anak yang kurang beruntung dan berkebutuhan khusus semakin terpinggirkan. Tujuan dari dibentuknya sekolah inklusi adalah untuk menekan dampak yang ditimbulkan oleh sikap eksklusif. Sekolah inklusi juga memberikan kesempatan bagi anak berkebutuhan khusus dan kurang berutung dapat mengenyam pendidikan. Partisipasi masyarakat dan adanya kemandirian menetukan berjalannya kebijakan sekolah inklusi ini. Karena dalam sekolah inklusi ini dibutuhkan kerjasama antara masyarakat dengan pengajar di kelas untuk menciptakan dan menjaga komunitas kelas yang hangat, menerima keanekaragaman, dan menghargai perbedaan. Selain itu dalam sekolah inklusi, guru-guru diharuskan untuk mengajar secara interaktif. Hal ini nantinya dapat menciptakan komunikasi antar guru dan siswa, sehingga dapat timbul kedekatan. Dengan adanya kedekatan tersebut akan menghilangkan adanya isolasi profesi. Dalam sekolah inklusi, makna orang tua juga berperan dalam menentukan perencanaan baik dari segi perencanaan kurikulum di sekolah maupun bantuan belajar di rumah. Dalam sistem pendidikan nasional diadakan pengaturan pendidikan khusus yang diselenggarakan untuk peserta didik yang menyandang kelainan fisik dan atau mental. Peserta didik yang menyandang kelainan demikian juga memperoleh pendidikan yang layak, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang dalam hal ini menyatakan dengan singkat dan jelas bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran” yang ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyatakan bahwa “Warga Negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus”. Hak masing-masing warga negara untuk memperoleh pendidikan dapat diartikan sebagai hak untuk memperoleh pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan yang sekurang-kurangnya setara dengan pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan tamatan pendidikan dasar. Tentu saja kelainan yang disandang oleh peserta didik yang bersangkutan menuntut penyelenggaraan pendidikan sekolah yang lain dari pada penyelenggaraan pendidikan sekolah biasa. Oleh sebab itu, jenis pendidikan yang diadakan bagi peserta didik yang berkelianan disebut Pendidikan Luar Biasa. Saat ini satu unit di bawah Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, yaitu Direktorat Pendidikan Luar Biasa memikul tanggung jawab atas pelayanan pendidikan bagi peserta didik penyandang kelainan untuk tingkat nasional. Untuk tingkat daerah, unit yang bertanggung jawab atas Pendidikan Luar Biasa adalah Subdin PLB/Subdin yang menangani PLB pada Dinas Pendidikan Propinsi. Lembaga Pendidikan Luar Biasa yang ada sekarang ini adalah Sekolah Luar Biasa (SLB), Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), dan Pendidikan Terpadu. . Ada Departemen terkait yang memberikan pelayanan pendidikan bagian anak nakal yaitu Departemen Kehakiman dan Departemen Sosial. Pada umumnya Departemen Kehakiman menampung “anak negara” yaitu anak delinkwensi atas putusan pengadilan dicabut hak mendidik dari orang tuanya kemudian diambil oleh pemerintah. Mereka dipelihara sampai berumur 18 tahun sebagai batas ukuran dewasa. Sedangkan Departemen Sosial memelihara mereka berdasar titipan dari orangtua, karena orangtua sudah merasa kewalahan. Atau hasil razia anak gelandangan atau terlantar yang sulit bila dikembalikan kepada orangtuanya karena keadaan tidak mampu atau sangat miskin. Di dalam pelaksanaan penyelenggaraannya kita mengenal macam-macam bentuk penyelenggaraan pendidikan anak tunalaras/sosial sebagai berikut:
    1. Penyelenggaraan bimbingan dan penyuluhan di sekolah reguler. Jika diantara murid di sekolah tersebut ada anak yang menunjukan gejala kenakalan ringan segera para pembimbing memperbaiki mereka. Mereka masih tinggal bersama-sama kawannya di kelas, hanya mereka mendapat perhatian dan layanan khusus.
    2. Kelas khusus apabila anak tunalaras perlu belajar terpisah dari teman pada satu kelas. Kemudian gejala-gejala kelainan baik emosinya maupun kelainan tingkah lakunya dipelajari. Diagnosa itu diperlukan sebagai dasar penyembuhan. Kelas khusus itu ada pada tiap sekolah dan masih merupakan bagian dari sekolah yang bersangkutan. Kelas khusus itu dipegang oleh seorang pendidik yang berlatar belakang PLB dan atau Bimbingan dan Penyuluhan atau oleh seorang guru yang cakap membimbing anak.
    3. Sekolah Luar Biasa bagian Tunalaras tanpa asrama Bagi Anak Tunalaras yang perlu dipisah belajarnya dengan kata kawan yang lain karena kenakalannya cukup berat atau merugikan kawan sebayanya.
    4. Sekolah dengan asrama. Bagi mereka yang kenakalannya berat, sehingga harus terpisah dengan kawan maupun dengan orangtuanya, maka mereka dikirim ke asrama. Hal ini juga dimaksudkan agar anak secara kontinyu dapat terus dibimbing dan dibina. Adanya asrama adalah untuk keperluan penyuluhan.
    Yang menjadi sasaran pokok dalam pengembangan adalah usaha pemerataan dan perluasan kesempatan belajar dalam rangka penuntasan wajib belajar pendidikan dasar. Biasanya anak tunalaras itu segera saja dikeluarkan dari sekolah karena dianggap membahayakan. Dengan usaha pengembangan sekolah bagi anak tunalaras ini berarti kita memberi wadah seluas-luasnya atau tempat mereka memperoleh berbaikan kepribadiannya.
  3. Implementasi Model Pembelajaran Anak Tunalaras di Kelas Inklusi
  4. Dalam mengembangkan model pembelajaran untuk anak tunalaras di kelas inklusi selain rencana pembelajaran dan penyusunan PPI perlu dipertimbangkan bahwa anak tunalaras mengalami Disfungsi perkembangan anak, meliputi aspek sensorimotor, kreativitas, interaksi sosial, dan berbahasa. Hal ini dapat mengakibatkan peserta didik mendapatkan kesulitan belajar di sekolah. Sementara itu istilah populer dari ketidak matangan (inadequary) atau kekurangdewasaan (immaturitty) adalah kekanak-kanakan. Jenis perilaku ini sangat beragam, dari perbedaan kecil dengan perkembangan anak seusianya sampai keterlambatan perkembangan yang bersifat kronis danberat. Ada lagi kelainan berupa perkembangan yang tidak merata, berkembang lebih cepat dari anak normal dalam beberapa aspek tetapi menunjukan keterlambatan dalam aspek lain. Ketidakmatangan tersebut dapat merujuk pada masalah yang sama, yaitu perilaku tidak sesuai dengan perilaku anak seusianya.
Tetapi dalam hal tertentu, ada perbedaan antara keduanya. Kekurang dewasaan adalah perilaku di bawah norma satu populasi atau masyarakat luas; sedangkan ketidak matangan merujuk pada perilaku dibandingkan dengan norma yang lebih sempit atau kelompok sosial tertentu. Dengan demikian, seorang anak mungkin kurang dewasa menurut ukuran anak seusianya, tetapi bagi masyarakat tertentu hal ini dianggap biasa.
Ketidakmatangan/kekurangdewasaan bukan jenis perilaku yang berdiri sendiri, tetapi konsep ini mempunyai arti yang luas sehingga dapat diterapkan pada hampir semua jenis penyimpangan perilaku. Karakteristik distraktibilitas, agresivitas, atau pendiam, misalnya sering menyertai munculnya perilaku ketidakdewasaan.
Dalam bagian ini akan dibahas Kebutuhan intervensi pembelajaran khusus dan Pendekatan teoritis yang diambil dalam usaha memenuhi kebutuhan siswa-siswa yang mengalami gangguan emosi dan tingkah laku sangat berarti dalam menentukan apakah seseorang siswa dipandang sebagai bagian kehidupan kelas reguler.
Kebutuhan Intervensi Pembelajaran Khusus
Disebabkan anak-anak dengan hendaya kelainan perilaku salah suai mengacu kepada adanya:
  1. perilaku yang sangat ekstrim,
  2. masalahnya sangat kronis (salah satunya adalah sulit untuk dihilangkan secepatnya),
  3. perilaku yang tidak diterima oleh adanya harapan-harapan tertentu dalam lingkungan sosial dan budaya tertentu
Dengan demikian disadari proses perkembangan anak untuk mengubah dirinya memerlukan bentuk kegiatan tertentu serta latihan yang diarahkan sesuai dengan keberadaan dirinya, sehingga terpenuhi kebutuhan psikologis, seperti perasaan dicintai dan dapat diterima oleh orang-orang di sekitarnya (Maslow,1984 dalam Patton,l986:4).
Dalam perkembangan psikopedagogis anak, interaksi anak terhadap lingkungan dihadapkannya diadapan pada tiga dimensi utama, yaitu: kemampuan (capabilities), lingkungan tempat anak melakukan fungsi kegiatannya (environment), dan kebutuhan dengan berbagai tingkat keperluan (functioning & Support). Mempelajari perilaku peserta didik dengan gngguan emosi dan tingkah laku akan berkaitan dengan cara mereka berorientasi dengan lingkungan.
Prinsip-prinsip belajar yang terlibat antara lain teori belajar sosial dan teori perkembangan kognitif. Teori belajar sosial memandang konteks sosial peserta didik meliputi interaksi pribadinya dengan lingkungan yang mempunyai kapasitas apakah itu bergerak ke arah objek atau menjauhi objek. Keduanya berpengaruh terhadap perilaku perorangan yang menunjukkan adanya penguatan yang dapat dipergunakan sebagai intervensi dalam mencapai tujuan pembelajaran. Implikasi dari kedua variabel ini menyebabkan adanya tiga bentuk hubungan pada diri peserta didik yang mengalami hambatan perkembangan, yaitu Locus of control, expectancy for failure, dan outer directedness.
Locus of control mengacu pada sejauh mana seseorang merasakan akibat dari perilakunya sendiri. Seseorang yang merasakan kejadian-kejadian, baik yang positif maupun negatif, sebagai akibat dari tindakannya sendiri disebut dengan internal locus of control. Sebaliknya apabila dilakukan akibat tekanan dariluar dirinya seperti nasib,kesempatan, atau akibat dari perbuatan orang lain disebut dengan external locus of control. Pribadi peserta didik yang mempunyai hambatan perkembangan lebih berorientasi ke arah external locus of control daripada mereka yang tidak mempunyai hambatan perkembangan (Patton,et,al,l986: 85)
Expectancy for failure mengacu pada penguatan yang merupakan antisipasi sebagai akibat dari perilaku yang diajarkan.Misalnya pemberian hadiah danpemberian harapan-harapan sebagai bentuk umum akibat dari pengalaman-pengalaman masa lalu dengan tipe khusus dari suatu kegiatan pemecahan masalah. Outerdirectedness merupakan upaya untuk mengatasi kesalahan-kesalahan yang mungkin terjadi. Individu outerdirectedness dalam upaya untuk tidak melakukan kesalahan-kesalahan,pada umumnya meniru perilaku orang lain yang benar atau memperhatikan orang lain sebagai bentuk arahan atau petunjuk-petunjuk khusus bagi dirinya.
Masalah yang dihadapi oleh anak dengan gangguan emosi dan tingkah laku dipandang sebagai ketidakseimbangan secara patologis antara bagian-bagian dinamis dari pikiran: id, ego dan super-ego. Para praktisi pendidikan mengupayakan untuk membantu dalam meningkatkan keberfungsiaan patologis, seperti perilaku dan prestasi ke arah yang sebaik mungkin. Penekanannya terletak pada pembentukan hubungan yang baik antara guru dan siswa, agar diri siswa mempunyai perasaan diterima dan bebas untuk mengemukakan keadaan dirinya. Dengan demikian maka perhatian guru lebih tertuju ke pada upaya-upaya untuk membantu anak dalam mengatasi konflik-konflik mentalnya, bukan dengan merubah perilaku kelainan yang tampak atau memberikan keterampilan akademik (Berkowitz & Rothman dalam Hallahan & Kauffman, 1986:173).
Sementara itu anak dengan dengan gangguan emosi dan tingkah laku ini diasumsikan bahwa kelainannya melibatkan kelainan psikiatrik dan adanya kesalahan-kesalahan perilaku yang tidak semestinya dilakukan oleh seorang anak, maka diperlukan pendekatan secara seimbang antara sasaran yang bersifat terapeutik (penyembuhan) dengan sasaran untuk pencapaian prestasinya. Motivasi terhadap ketidaksadaran diri dan faktor-faktor yang bersifat patologi perlu mendapatkan pertimbangan dalam pembelajarannya, melalui penekanan terhadap pemenuhan kebutuhan setiap individu dan pembelajaran melalui bentuk-bentuk aplikasi yang memanfaatkan kegiatan kreatif-seni, seperti: musik, tari, dan kegiatan yang bersifat seni.
Perspektif lain mengemukakan anak-anak dengan gangguan emosi dan tingkah laku belum tersentuh perasaan dirinya dan kurang mempunyai perhatian dan masih belum dianggap penting dalam lingkungan pendidikan tradisional. Hal yang perlu disarankan ke pada para praktisi kependidikan adalah program yang akan diterapkan sebaiknya disusun guna mempertinggi kemampuan siswa untuk mengatur diri sendiri, mampu mengevaluasi diri, dan keterlibatan emosional dalam pembelajaran yang diterapkan dalam lingkungan pendidikan yang non-tradisional. Fungsi guru dalam hal ini sebaiknya hanya sebagai sumber dan katalisator dalam pembelajarannya, bukan sebagai pengatur kegiatan-kegiatan. Guru bersama-sama siswa bekerja bersama saling memberikan informasi dalam keadaan yang saling menguntungkan dan berkesan. Biasanya kata-kata yang dipergunakan adalah tidak bersifat otoriter, bersifat memberikan arahan, bersifat ke arah evaluasi- diri, afektif, terbuka dan bersifat pribadi (Hallahan & Kauffman, 1986:175).
Sementara itu elemen-elemen lingkungan seperti sekolah, lingkungan keluarga, dan perwakilan lembaga sosial merupakan ajang interaksi bagi anak. Oleh karenanya paraktisi pendidikan sebaiknya menjadi bagian dari strategi keseluruhan suatu sistem dimana anak merupakan bagian yang terlibat di dalamnya. Sasaran dari pendekatan ini adalah merubah lingkungan secukupnya sehingga dapat membantu intervensi terhadap perilaku yang diinginkan. Pendekatan ini tidak hanya diberlakukan dalam ruangan kelas saja, tetapi meliputi juga kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan oleh keluarga dari anak yang bersangkutan, tetangganya, dan orang-orang yang ada di lingkungannya. Pendekatan secara ekologis membutuhkan seorang guru yang cakap dalam memberikan keterampilan spesifik yang berguna, termasuk di dalamnya keterampilan akademik, rekreasi, dan keterampilan untuk hidup sehari-hari.
Asumsi lainnya adalah bahwa permasalahan yang bersifat perilaku yang menjadi penyebab tidak tepatnya pembelajaran pada anak dengan gangguan emosi dan tingkah laku dapat dibantu dengan cara memodifikasi perilaku. Modifikasi perilaku dapat dikerjakan bersamaan dengan memanipulasi lingkungan anak secara segera, tergantung pada penempatan ruangan kelas dan konsekuensi dari perilaku anak yang bersangkutan. Dengan kata lain bahwa tanggapan-tanggapan anak hendaknya dapat segera disadari oleh guru atau praktisi serta dapat diukur secara cermat, sehingga fokus dalam pendekatan perilaku adalah memberikan batasan secara tepat dan mengukur perilaku yang dapat diamati yang menjadi masalah, dan memanipulasi konsekuensi-konsekuensi perilaku anak yang bersangkutan dalam upaya melakukan perubahan.
Dengan demikian program pembelajaran bagi anak dengan gangguan emosi dan tingkah laku sebaiknya diberikan dengan berfokus pada peningkatan sosial-emosionalnya. Untuk itu maka diperlukan perhatian khusus terhadap perkembangan sosial-emosional dan psikomotornya. Yang dimaksud dengan perkembangan sosial emosional, meliputi hal-hal sebagai berikut.
  1. Kepuasan diri: merasa sehat, meningkatkan konsep-diri, meningkatkan kepercayaan diri, aktualisasi-diri dan peningkatan kesadaran terhadap tubuh.
  2. Perkembangan fungsional: sikap bermasyarakat, pandangan terhadap nilai-nilai, kepribadian, menyenangi hubungan antar-pribadi dalam suatu lingkungan kehidupan.
  3. Perkembangan emosional: kestabilan emosi, merasa senang, suka menyampaikan perasaan-perasaan emosi dirinya, bergaul erat sesama teman.
Oleh karena itu program pembelajaran sebaiknya diupayakan untuk dapat meningkatkan hubungan orang-perorang, selanjutnya suatu program pembelajaran bagi anak dengan hendaya kelainan perilaku diperlukan adanya hal-hal berikut:
  1. Kegiatan-kegiatan dapat dipersiapkan agar dapat meningkatkan kesportifitasan, dan hubungan yang terjalin dengan baik antara anak yang bersangkutan dengan guru dan teman-teman sekelasnya.
  2. Semua kegiatan sebaiknya di arahkan untuk dapat memperoleh pengalaman-pengalaman yang berguna, dapat dirasakan kepuasaannya, dan dapat dilakukan dengan ekspresi yang penuh.
  3. Kegiatan-kegiatan yang disajikan berdasarkan pada pola permainan, seperti permainan teka-teki, tarian, olahraga, dan sejenisnya.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka kegiatan-kegiatan layanan pembelajaran hendaknya bertujuan sebagai terapeutik dengan memperhatikan: adanya kesempatan pada anak untuk dapat mengekspresikan dirinya sendiri, dapat meningkatkan persahabatan, adanya kesempatan pada anak untuk dapat memecahkan masalah-masalahnya secara sendiri, menggunakan gerakan-gerakan ritmis, dan dilakukan dengan memodifikasi perilaku yang bersifat operant condition, dengan penguatan yang positif (positive reinforcement), hukuman (punishment), dan penarikan/ penghentian kegiatan (time-out).
Langkah-langkah kegiatan pembuatan rancangan pembelajaran, adalah sebagai berikut :
  1. Melakukan skrining atau tes untuk mengetahui tingkat perkembangan fungsional psikomotor dengan menggunakan instrumen Geddes Psychomotor Inventory (GPI) Profile I dan II (sebagai pre test)
  2. Menganalisis seluruh hasil skrining atau pre test dengan instrumen GPI Profile I dan II, guna mengetahui secara rinci tingkat keberfungsian psikomotor anak yang bersangkutan disesuaikan dengan perkembangan sosial-emosionalnya.
  3. Membuat rancangan pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan anak, berdasarkan atas hasil analisis skrining dan diselaraskan dengan kurikulum yang berlaku.
  4. Melakukan evaluasi akhir pembelajaran untuk mengetahui:
    1. Apakah terjadi peningkatan keberfungsian psikomotor, sehingga dapat berpengaruh terhadap perkembangan sosial-emosionalnya atau tidak. Dilakukan dengan instrumen GPI Profile I dan II (sebagai post test)
    2. Apakah terjadi kestabilan peningkatan perilaku sasaran (dalam hal ini adalah perilaku suka menyendiri/withdrawal) sebagai target yang akan dicapai dalam pembelajaran. Dalam hal ini dipergunakan analisis terhadap grafik A-B-A dalam suatu metode subjek-tunggal.

MKRdezign

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget