Pemerintah pada Pemilu 2004 memperbolehkan partai politik (parpol) berkampanye di kampus. Hal ini memancing reaksi dari kalangan civitas akademika. Menurut Malik Fajar, model kampanye kampus tidak sama dengan model kampanye pengerahan massa. Kampanye di kampus akan lebih mengedepankan ciri akademis dengan cara dialogis. Suatu model kampanye yang “akan bermanfaat bagi pendidikan politik para mahasiswa” (Republika 26/2/2003). Parpol di perbolehkan kampanye sesuai mekanisme kampanye yang ditetapkan oleh masing masing kampus.
Hampir setiap kampus, mayoritas kalangan aktifis mahasiswa menolak kehadiran parpol untuk berkampanye. Setidaknya kalangan mahasiswa melihat dan mempunyai beberapa alasan mendasar atas penolakan mereka terhadap kampanye di kampus. Pertama, adanya alasan pinsipil dan perbedaan diametral antara dunia politik dan dunia pendidikan. Kalangan pendidikan membangun bangsa dalam jangka panjang, secara terarah dan berkesinambungan. Untuk itu tiap lembaga pendidikan, dalam hal ini kampus, telah mempunyai blue print arah kebijakan dan tujuan pendidikan. Sementara partai politik lebih mementingkan kepentingan jangka pendek. Kalau toh dalam AD/ART dan janji parpol tersebut mengemukakan hal hal yang bersifat idealita, itu berubah seratus delapan puluh derajat manakala mereka telah mendapatkan “kursi” di carinya, dan inilah fakta yang ada selama ini. Kepentingan jangka pendek inilah yang membedakan parpol dengan kampus/lembaga pendidikan.
Kedua, kekhawatiran politisasi kampus oleh pihak pihak tertentu. Dengan diperbolehkannya kampus dipakai sebagai ajang kampanye parpol, aktifis mahasiswa menduga adanya kepentingan dan konsesi tertentu dan juga kemudahan akses bagi kampus dalam melakukan sesuatu terutama dengan bila bekerjasama dengan parpol pemenang terutama yang di prediksikan pemenang pemilu.
Ketiga, realitas lapangan menunjukkan bahwa kinerja “wakil rakyat” belum memuaskan (untuk tidak mengatakan: mengecewakan!). Tingkah laku elit politik yang tak mencerminkan kondisi rakyat kecil dan tidak adanya sense of crisis. Hal ini semakin menguatkan asumsi bahwa anggota legislative adalah wakil parpol yang tidak mewakili dan memperjuangkan kepentingan rakyat kecil tetapi lebih mementingkan kepentingan golongan dan parpolnya. Di saat rakyat tercekik oleh kebutuhan ekonomi, politisi di beberapa DPRD seperti Boyolali, Sukoharjo dan Sragen meminta dana purnabhakti 25-35 Juta atas perjuangan mereka di legislatif.
Alasan kampanye di kampus merupakan pendidikan politik mungkin ada benarnya. Selama ini pendidikan pilitik tak pernah ada dalam perkuliahan kecuali fakultas sosial politik. Dengan demikian mahasiswa akan melek politik. Dan lagi pula kampanye tersebut parpol ‘diharapkan” tidak membawa massa. Kampanye dalam bentuk diskusi dialogis, tiap jurkam memaparkan program parpolnya, calon presidennya dan menyampaikan janji-janjinya.
Dengan demikian, agar terjadi keseimbangan atau balance dalam kampanye kampus, menurut penulis perlu beberapa tawaran alternatif. Pertama, karena yang maju dalam kampanye adalah tiap jurkam dengan segala program parpol dan hal positif lainnya, maka pihak aktifis mahasiswa dan akademisi kampus perlu memposisikan diri sebagai subyek kritis. Jurkam harus siap “dikuliti” porgram parpolnya -yang sering kali berbentuk konsep ideal– dengan realita yang terjadi di lapangan, dengan kondisi utusannya yang menjadi wakil rakyat. Artinya akademisi dan aktifis kampus adalah subyek dan bukan obyek, bersikap positif dan lebih bijak terhadap parpol tetapi juga tidak meninggalkan sikap kritis yang menjadi tradisi keilmuan kampus. Pemilihan umum adalah wahana penyaluran aspirasi secara demokratis. Pemilih merupakan subyek yang bebas menentukan hak pilihnya sesuai dengan aspirasinya, atau tidak memilih sama sekali dan aktif mengcounter parpol bila memang parpol di anggap membodohi kampus dan rakyat. Kondisi ini memungkinkan titik temu antara parpol, rektorat dan aktifis mahasiswa.
Wal hasil, kampus perlu aktif menjadi “sparring partner” parpol dalam memberi arah dan mengkontruksi sejarah masa depan bangsa. Upaya ini bisa dengan kerja sama melalui simbiosis mutualisme antara kampus dan parpol, dengan tetap kritis tentunya. Bisa juga sparring partner ini dalam bentuk sikap oposisi kampanye. Bila parpol dengan janji janjinya, kampus dengan penilaian kritis. Dan jika perlu aktifis kampus mengkampanyekan golongan putih (golput) sebagai salah satu pilihan masyarakat, dan sebagai sikap ketidak puasan dan kritis yang demokratis atas janji saat kampanye dan kenyataan yang ada pada parpol ketika telah memperoleh kursi. Dengan adanya giolput parpol mengetahui seberapa besar kepercayaan pemilih. Dan memungkinkan pengukuran secara nominal seberapa besar golput pada berbagai macam pemilu yang akan ada.
Post a Comment