Dalam prakteknya, pengejawantahan cita-cita pendidikan nasional, nampaknya tidak harus melulu ditempuh melalui jalur formal secara berjenjang (hierarchies), yang dilaksanakan mulai dari Pendidikan Pra-Sekolah (PP. No. 27 Tahun 1990), Pendidikan Sekolah Dasar (PP. No. 28 Tahun 1990), Pendidikan Sekolah Menengah (PP. No. 29 Tahun 1990) dan Pendidikan Perguruan Tinggi (PP. No. 30 Tahun 1990), akan tetapi juga mengabsahkan pelaksanaan pendidikan secara non-formal dan in-formal (pendidikan luar sekolah) (UU Sisdiknas, 2003). Artikulasi pendidikan terakhir ini, basisnya diperkuat mulai dari pendidikan di lingkungan keluarga, masyarakat dan lembaga-lembaga pendidikan swasta.
Paralel dengan pelaksanaan pendidikan luar sekolah dalam pelbagai bentuk dan ragamnya, terdapat satu institusi pendidikan yang telah mengakar lama dalam sejarah pendidikan di Indonesia, yaitu terutama pendidikan Islam yang diselenggarakan di pesantren-pesantren (Islamic boarding school). Sebagai institusi pendidikan Islam tradisional, pesantren sudah sejak lama survive dalam sejarah perkembangan pendidikan Indonesia. Ia telah terbukti banyak memberi sumbangan bagi upaya mewujudkan idealisme pendidikan nasional, yang bukan sekedar hanya meningkatkan kualitas sumber daya manusia (human resource) pada aspek penguasaan sains dan tekhnologi an sich, melainkan juga lebih concern dalam mencetak warga negara Indonesia yang memiliki ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, terutama dalam memupuk generasi yang bermoral baik (akhlaq al-karimah).
Indegenousitas pesantren kontras berbeda dengan praktek pendidikan pada intitusi pendidikan lainnya, sehingga dinamika sekaligus problematika yang muncul kemudian, juga menampilkan watak yang khas dan eksotik. Di era globalisasi sekarang ini, Alfin Toffler membayangkan akan terciptanya ‘masyarakat informasi’ (the informasional society) yang sulit untuk dihindari oleh negara manapun di permukaan bumi ini, termasuk Indonesia. Sehingga, fenomena globalisasi yang begitu cepat mengalami akselerasi dalam pelbagai aspek, sebagai konsekuensi logis dari penerapan high-tech (tekhnologi tinggi), menyebabkan bangsa Indonesia tergiring pada pola interaksi yang amat cepat dan massif dengan negara-negara lain di dunia. Dalam fase masyarakat informasi inilah, pesantren semakin menghadapi tantangan yang tidak ringan dan lebih kompleks ketimbang periode waktu sebelumnya.
Di tengah pergulatan masyarakat informasional, pesantren ‘dipaksa’ memasuki ruang kontestasi dengan institusi pendidikan lainnya, terlebih dengan sangat maraknya pendidikan berlabel luar negeri yang menambah semakin ketatnya persaingan mutu out-put (keluaran) pendidikan. Kompetisi yang kian ketat itu, memosisikan institusi pesantren untuk mempertaruhkan kualitas out-put pendidikannya agar tetap unggul dan menjadi pilihan masyarakat, terutama umat Islam. Ini mengindikasikan, bahwa pesantren perlu banyak melakukan pembenahan internal dan inovasi baru agar tetap mampu meningkatkan mutu pendidikannya.
Persoalan ini tentu saja berkorelasi positif dengan konteks pengajaran di pesantren. Di mana, secara tidak langsung mengharuskan adanya pembaharuan (modernisasi)-kalau boleh dikatakan demikian-dalam pelbagai aspek pendidikan di dunia pesantren. Sebut saja misalnya mengenai kurikulum, sarana-prasarana, tenaga kependidikan (pegawai administrasi), guru, manajemen (pengelolaan), sistem evaluasi dan aspek-aspek lainnya dalam penyelenggaraan pendidikan di pesantren. Jika aspek-aspek pendidikan seperti ini tidak mendapatkan perhatian yang proporsional untuk segera dimodernisasi, atau minimalnya disesuaikan dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat (social needs and demand), tentu akan mengancam survival pesantren di masa depan. Masyarakat (baca: kaum muslimin Indonesia) akan semakin tidak tertarik dan lambat laun akan meninggalkan pendidikan ‘ala pesantren, kemudian lebih memilih institusi pendidikan yang lebih menjamin kualitas output-nya. Pada taraf ini, pesantren berhadap-hadapan dengan dilema antara tradisi dan modernitas. Ketika pesantren tidak mau beranjak ke modernitas, dan hanya berkutat dan mempertahankan otentisitas tradisi pengajarannya yang khas tradisional, dengan pengajaran yang melulu bermuatan al-Qur’an dan al-Hadis serta kitab-kitab klasiknya (Karel Steenbrink, 1994, 167), tanpa adanya pembaharuan metodologis, maka selama itu pula pesantren harus siap ditinggalkan oleh masyarakat. Pengajaran Islam tradisional dengan muatan-muatan yang telah disebutkan di muka, tentu saja harus lebih dikembangkan agar penguasaan materi keagamaan anak didik (baca: santri) bisa lebih maksimal, di samping juga perlu memasukkan materi-materi pengetahuan non-agama dalam proses pengajaran di pesantren.
Dengan begitu, pengembangan pesantren tidak saja dilakukan dengan cara memasukkan pengetahuan non-agama, melainkan agar lebih efektif dan signifikan, praktek pengajaran harus menerapkan metodologi yang lebih baru dan modern. Sebab, ketika didaktik-metodik yang diterapkan masih berkutat pada cara-cara lama yang ketinggalan zaman alias “kuno”, maka selama itu pula pesantren sulit untuk berkompetisi dengan institusi pendidikan lainnya! Persoalannya, betulkah semua yang berwatak lama itu kurang baik?
Memahami Watak Tradisionalisme Pesantren
Persoalan ini tentunya harus dikembalikan pada proporsinya yang pas. Sebab, watak tradisional yang inherent di tubuh pesantren seringkali masih disalahpahami, dan ditempatkan bukan pada proporsinya yang tepat. Tradisionalisme yang melekat dan terbangun lama di kalangan pesantren, sejak awal minimal ditampilkan oleh dua wajah yang berbeda. Oleh karena itu, penyebutan tradisional tentu harus ditujukan pada aspek yang spesifik, tidak asal gebuk rata. Tradisionalisme pesantren di satu sisi melekat pada aras keagamaan (baca: Islam). Bentuk tradisionalisme ini merupakan satu sistem ajaran yang berakar dari perkawinan konspiratif antara teologi skolastisisme As’ariyah dan Maturidiyah dengan ajaran-ajaran tasawuf (mistisisme Islam) yang telah lama mewarnai corak ke-Islam-an di Indonesia (Abdurrahman Wahid, 1997). Selaras dengan pemahaman ini, terminologi yang akarnya ditemukan dari kata ‘adat (bahasa Arab) ini, merupakan praktek keagamaan lokal yang diwariskan umat Islam Indonesia generasi pertama. Di sini Islam berbaur dengan sistem adat dan kebiasaan lokal, sehingga melahirkan watak ke-Islaman yang khas Indonesia (Martin van Bruinessen, 1997, 140).
Sementara tradisional dalam pengertian lainnya, bisa dilihat dari sisi metodologi pengajaran (pendidikan) yang diterapkan dunia pesantren (baca: salafiyah). Penyebutan tradisional dalam konteks praktek pengajaran di pesantren, didasarkan pada sistem pengajarannya yang monologis, bukannya dialogis-emansipatoris, yaitu sistem doktrinasi sang Kiyai kepada santrinya dan metodologi pengajarannya masih bersifat klasik, seperti sistem bandongan, pasaran, sorogan dan sejenisnya. Lepas dari persoalan itu, karakter tradisional yang melekat dalam dunia pesantren (sesungguhnya) tidak selamanya buruk. Asumsi ini sebetulnya relevan dengan prinsip ushul fiqh, “al-Muhafadhah ‘ala al- Qodimi as-Shalih wa al-Akhdu bi al-Jadid al-Ashlah” (memelihara [mempertahankan] tradisi yang baik, dan mengambil sesuatu yang baru (modernitas) yang lebih baik). Artinya, tradisionalisme dalam konteks didaktik-metodik yang telah lama diterapkan di pesantren, tidak perlu ditinggalkan begitu saja, hanya saja perlu disinergikan dengan modernitas. Hal ini dilakukan karena masyarakat secara praktis-pragmatis semakin membutuhkan adanya penguasaan sains dan tekhnologi. Oleh Karena itu, mensinergikan tradisionalisme pesantren dengan modernitas dalam konteks praktek pengajaran, merupakan pilihan sejarah (historical choice) yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Sebab, jika tidak demikian, eksistensi pesantren akan semakin sulit bertahan di tengah era informasi dan pentas globalisasi yang kian kompetitif.
Di antara problem yang sering dijumpai dalam praktek pendidikan di pesantren, terutama yang masih bercorak salaf, adalah persoalan efektivitas metodologi pengajaran. Di sinilah perlunya dilakukan penyelarasan tradisi dan modernitas di tengah dunia pesantren. Dalam hal ini, memang diperlukan adanya pembaharuan di pesantren, terutama mengenai metodologi pengajarannya, namun pembaharuan ini tidak harus meninggalkan praktek pengajaran lama (tradisional), karena memang di sinilah karakter khas dan indegenousitas pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam di Indonesia. Justru yang perlu dilakukan adalah, adanya konvigurasi sistemik dan kultural antara metodologi tradisional dengan metodologi konvensional-modern. Dengan demikian, penerapan metodologi pengajaran modern dan pembangunan kultur belajar yang dialogis-emansipatoris, bisa seirama dengan watak asli dari kultur pesantren. ?
Post a Comment