Faktor-Faktor Makro yang Menyebabkan Anak Malas Belajar

Bulan-bulan tertentu menjelang Ebtanas dan UMPTN, setiap tahun, adalah musimnya orangtua mengkonsultasikan anak-anaknya untuk tes bakat pada psikolog. Persoalan orangtua (belum tentu persoalan anak juga) adalah bahwa anaknya, walaupun sudah kelas 3 SMU, belum jelas mau memilih jurusan apa di perguruan tinggi. Karena takut bahwa anaknya gagal di tengah jalan, maka orangtua pun mengkonsultasikan anaknya kepada psikolog.

Sementara itu, dari pengamatan saya di ruang praktek, di pihak anaknya sendiri kurang nampak ada urgensi pada permasalahan yang sedang dihadapinya. Rata-rata anak memang ingin lulus UMPTN di Universitas-universitas favorit (UI, ITB), tetapi tidak terbayangkan betapa ketatnya persaingan yang harus dihadapinya1. Kalau tidak lulus UMPTN, pilihan untuk PTS (Perguruan Tinggi Swasta) masih banyak. Kalau tidak diterima di Trisakti atau Atmajaya, masih banyak PTS yang lain. Bagi yang orangtuanya mampu, kuliah di luar negeri2 bahkan lebih banyak lagi peluangnya.

Tidak adanya perasaan urgensi (kegawatan) lebih nampak lagi pada hampir-hampir tidak adanya persiapan yang serius. Kebanyakan anak tidak mempunyai kebiasaan belajar yang teratur, tidak mempunyai catatan pelajaran yang lengkap, tidak membuat PR, sering membolos (dari sekolah maupun dari les), seringkali lebih mengharapkan bocoran soal ulangan/ujian atau menyontek untuk mendapat nilai yang bagus.

Di sisi lain, cita-cita mereka (yang karena kurang baiknya hubungan anak-orangtua, sering dianggap tidak jelas) adalah sekolah bisnis (MBA). Dalam bayangan mereka, MBA berarti menjadi direktur atau manajer, kerja di kantor yang mentereng, memakai dasi atau blazer dan pergi-pulang kantor mengendarai mobil sendiri. Hampir-hampir tidak terbayangkan oleh mereka proses panjang yang harus dilakukan dari jenjang yang paling bawah untuk mencapai posisi manajer atau direktur tsb.

Sikap “jalan pintas” ini bukan hanya menyebabkan motivasi belajar yang sangat kurang, melainkan juga menyebabkan timbulnya gaya hidup yang mau banyak senang, tetapi sedikit usaha, untuk masa sepanjang hidup mereka. Dengan perkataan lain, anak-anak ini selamanya akan hidup di alam mimpi yang sangat rawan frustrasi dan akibat dari frustrasi ini bisa timbul banyak masalah lain3.
Teori Brofenbrenner

Untuk memahami mengapa anak-anak bersikap jalan pintas sehingga malas belajar (banyak yang sejak SD), dan untuk membantu orangtua mencari cara pencegahan serta jalan keluarnya, saya mengajak anda sekalian untuk mengkaji sebuah teori yang dikemukakan oleh Brofenbrenner4.

Teori Brofenbrenner yang berparadigma lingkungan (ekologi) ini menyatakan bahwa perilaku seseorang (termasuk perilaku malas belajar pada anak) tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan dampak dari interaksi orang yang bersangkutan dengan lingkungan di luarnya.

Adapun lingkungan di luar diri orang (dalam makalah ini selanjutnya akan difokuskan pada anak atau siswa SD-SLTA) oleh Brofenbrenner di bagi dalam beberapa lingkaran yang berlapis-lapis (lihat diagram**):

Lingkaran pertama adalah yang paling dekat dengan pribadi anak, yaitu lingkaran sistem mikro yang terdiri dari keluarga, sekolah, guru, tempat penitipan anak, teman bermain, tetangga, rumah, tempat bermain dan sebagainya yang sehari-hari ditemui oleh anak.

Lingkaran kedua adalah interaksi antar faktor-faktor dalam sistem mikro (hubungan orangtua-guru, orangtua-teman, antar teman, guru-teman dsb.) yang dinamakannya sistem meso.

Di luar sistem mikro dan meso, ada lingkaran ketiga yang disebut sistem exo, yaitu lingkaran lebih luar lagi, yang tidak langsung menyentuh pribadi anak, akan tetapi masih besar pengaruhnya, seperti keluarga besar, polisi, POMG, dokter, koran, televisi dsb.

Akhirnya, lingkaran yang paling luar adalah sistem makro, yang terdiri dari ideologi negara, pemerintah, tradisi, agama, hukum, adat, budaya dsb.

Makalah ini, dengan mengikuti teori Brofenbrenner tersebut di atas, akan menguraikan bagaimana sistem makro yang terjadi di dunia dan Indonesia, melalui sistem-sistem lain yang lebih kecil (exo, meso dan mikro) berpengaruh pada kepribadian dan perilaku anak, termasuk perilaku malas belajar yang sedang kita biacarakan ini.
Sistem Makro

Kiranya hampir semua orangtua dan pendidik (dan semua orang juga) merasakan bahwa jaman sekarang ini terlalu banyak sekali perubahan. Para orangtua dari generasi “Tembang Kenangan” tidak bisa mengerti, apalagi menikmati, lagu-lagu favorit anak-anak mereka yang dibawakan oleh Dewa atau Westlife group. Bahkan generasi yang remaja di tahun 1980-an (generasi Stevie Wonder, Lionel Richie) juga sulit menerima lagu-lagu sekarang. Sulitnya, di kalangan generasi muda sendiri juga terdapat banyak versi musik (rap, reggae, house, salsa dsb.) yang masing-masing punya penggemar masing-masing. Di sisi lain musik-musik tradisional seperti keromcong dan gending Jawa, juga mengalami perubahan versi sehingga muncul musik campur-sari yang sekarang sedang populer di masyarakat Jawa Tengah dan Jawa Timur, termasuk generasi mudanya. Sementara itu, musik dangdut, yang tadinya monopoli masyarakat lapis bawah, justru berkembang menjadi lebih universal dengan mulai memasuki dunia kelas menengah atas. Faktor-faktor yang menyebabkan anak malas belajar

Perubahan-perubahan yang drastis dan sekaligus banyak ini juga terjadi pada bidang-bidang lain. Wayang orang dan wayang kulit yang saya gemari di masa kecil dan merupakan kegemaran juga dari ayah saya dan nenek-moyang saya, sekarang praktis tidak mempunyai lahan hidup lagi. Modifikasi dari kesenian tradisional (wayang kulit berbahasa Indonesia dan berdurasi hanya 2 jam diselingi musik dang dut, atau ketoprak humor), hanya bisa mengembangkan penggemarnya sendiri tanpa bisa mengangkat kembali kesenian tradisional sebagai mana bentuk aslinya.

Dalam setiap sektor kehidupan yang lain pun terdapat perubahan yang cepat. Karena itu jangan heran jika istilah-istilah “prokem” di jaman tahun 1980-an sudah tidak dimengerti lagi oleh anak-anak “gaul” angkatan 1990-an yang punya gaya bahasa “funky” tersendiri. Dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi perkembangannya adalah yang paling cepat. Anak SD sekarang sudah terampil menggunakan komputer, sedangkan eyang-eyang mereka menggunakan HP saja masih sering salah pencet. Video Betamax yang sangat modern di tahun 1980-an, sekarang sudah menjadi barang musium dengan adanya VCD (Video Digital Disc) dan yang terbaru DVD (Digital Video Disc; yang sebentar lagi pasti akan usang juga).

Dampak dari perubahan cepat ini sangat dahsyat sekali. Jika dalam bidang sosial budaya kita hanya mengamati kekacauan yang sulit dimengerti, dalam politik, perkembangan dan perubahan yang teramat sangat cepat ini telah meruntuhkan beberapa negara (Rusia, Yugoslavia), setidak-tidaknya telah menimbulkan banyak konflik yang menggoyangkan stabilitas dalam negeri dan menelan banyak korban harta dan jiwa (seperti yang sedang terjadi di Indonesia).

Para ilmuwan, setelah menganilis situasi yang dahsyat di seluruh dunia tsb. di atas, menyimpulkan bahwa saat ini kita sedang memasuki era Postmodernism (disingkat: Posmo)5 . Menurut para pemikir Posmo, jaman sekarang kira-kira sama dahsyatnya dengan jaman revolusi industri (ditemukannya mesin uap, listrik, mesiu dsb.) di akhir abad XIX yang juga berdampak berbagai peperangan, revolusi (perancis, Rusia), depresi ekonomi, kemerdekaan berbagai negara kolonial, penyakit menular dsb. yang kemudian kita kenal sebagai jaman modern. Perbedaan antara jaman modern dengan jaman sebelumnya adalah bahwa kendali kekuasaan (dalam bidang sosial, budaya, ekonomi dan politik) beralih ke tangan-tangan pemilik modal, pekerja, pemikir dsb., dari penguasa sebelumnya yaitu para raja, bangsawan, tuan tanah dsb. Dalam bidang musik misalnya, supremasi Beethoven sudah diambil alih oleh Elvis Presley, sedangkan kekuasaan Paus di Roma sudah tersaingi oleh berbagai versi agama Kristen lain yang tersebar di seluruh dunia (termasuk versi Katolik Roma di Philipina, misalnya). Di Jawa, misalnya, pusat kebudayaan di Kraton Mataram6, segera beralih ke Ismail Marzuki dan Chaeril Anwar setelah revolusi kemerdekaan. Dalam politik, ideologi yang berdasarkan feodalisme beralih ke ideologi komunisme (revolusi Rusia) atau liberalisme (revolusi kemerdekaan Amerika Serikat). Tetapi di zaman tradisional maupun di zaman modern, masih terasa adanya pusat-pusat kekuasaan, yang oleh manusia (dari sudut pandang psikologi) sangat diperlukan sebagai patokan atau pedoman hidup, sebagai tolok ukur untuk menilai mana yang benar atau salah, baik atau buruk, indah atau jelek.

Di dalam politik, misalnya, sampai dengan awal tahun 1990-an masih ada dua kekuatan utama di dunia (super powers) yaitu blok Barat (AS dan Eropa Barat) dan blok Timur. Upaya negara-negara dunia ke-3 untuk membangun KTT Non-Blok tidak banyak artinya, karena anggota-anggotanya tetap saja terpecah antara yang condong ke Blok Barat dan Blok Timur.

Tetapi di jaman Posmo ini, tidak ada lagi pusat-pusat kekuasaan seperti itu. Tidak ada tokoh, aliran, partai politik, ideologi, dan sebagainya yang mampu menonjol atau dominan dalam waktu yang cukup lama. Semua orang, aliran, ideologi dsb. bisa bisa timbul-tenggelam setiap saat. Bahkan agama pun, yang merupakan pranata yang paling konservatif, berubah-ubah dengan cepat sekali dengan timbul-tenggelamnya berbagai aliran, sekte dan bahkan agama-agama baru. Maka dapat dimengerti bahwa masyarakat awam di lapis bawah akan terperangkap dalam kebingungan-kebingungan karena hampir tidak ada tolok ukur yang dapat dijadikan pegangan dalam melaksanakan kehidupan sehari-hari.
Sistem Exo

Pengaruh Posmo pada sistem exo dapat dilihat dan dirasakan dengan perubahan drastis dalam berbagai pranata sosial, politik dan ekonomi. Di Indonesia kita dapat menyimaknya dalam berbagai gejala seperti berubahnya fungsi Polri dari aparat pertahanan dan keamanan menjadi fungsi keamanan, ketertiban dan penegakkan hukum (karena itu Polri keluar dari ABRI). Dalam bidang perekonomian, pemerintah kehilangan kendalinya terhadap sistem moneter, karena begitu banyaknya yang bisa ikut bermain dalam sistem moneter, sehingga nilai valuta asing menjadi sangat fluktuatif. Dalam bidang pendidikan, sistem pendidikan nasional, yang tadinya seragam untuk seluruh Indonesia, makin bervariasi dengan banyaknya sekolah yang berorientasi pada bermacam-macam agama, sekolah yang bekerja sama dengan luar negeri, sekolah-sekolah alternatif yang dikelola LSM dan sebagainya, sementara di tingkat perguruan tinggi berkembang terus-menerus berbagai gelar baru (bahkan ada gelar-gelar palsu) dan peraturan-peraturan Depdiknas pun berubah-ubah setiap saat.

Di bidang media massa dan sarana komunikasi dan perhubungan, terdapat makin banyak alternatif. Jika di tahun 1960-an hanya ada radio dan telpon yang diputar dengan tangan dan hubungan ke luar Jawa sangat langka dan lama, sekarang sudah tersedia berbagai alternatif seperti televisi fax (dari satu stasiun saja di tahun 1963, menjadi puluhan stasiun dengan sarana satelit), HP, internet, fax, bus antar propinsi (dari Banda Aceh sampai Kupang), pesawat udara (sehingga Jakarta-Jayapura hanya beberapa jam saja) dsb., sehingga hampir tidak ada lagi daerah yang masih terisolir seperti Kabupaten Lebak di zaman Max Havelaar.

Dalam bidang kehidupan berkeluarga, sistem kekerabatan (keluarga besar) sudah makin ditinggalkan orang dan beralih ke pada sistem keluarga inti. Bahkan akhir-akhir ini sudah banyak orang yang memilih untuk tidak menikah (single family) atau menjadi orangtua tunggal (single parent family). Rata-rata usia menikah makin meningkat (di kalangan menengah-ke atas sudah mencapai 26 tahun dan 30 tahun bagi wanita dan pria). Psangan nikah pun ditentukan sendiri oleh anak, bukan orangtua. Upacara-upacara perkawinan masih dilakukan secara tradisional, tetapi hanya simbolik saja, karena upacara-upacara itu sama sekali tidak mencerminkan kehidupan yang sesungguhnya dari pasangan yang bersangkutan (uoacaranya berbahasa Jawa, padahal pengantin sama sekali tidak mengerti bahasa Jawa, bahkan sangat boleh jadi psangan sudah berhubungan seks jauh sebelum upacara adat yang disakralkan itu).
Sistem Meso dan Mikro

Yang dimaksud dengan sistem Mikro adalah orang-orang yang terdekat dengan anak dan setiap hari berhubungan dengan anak (ayah-ibu, kakak-adik, oom, tante, opa, pembantu, supir, teman sekolah, guru dsb.), maupun tempat-tempat di mana anak sehari-hari berada (rumah, lingkungan tetangga, kebun, sekolah, kota dsb.). Interaksi antara unsur-unsur dalam sistem Mikro tersebut dinamakan sistem Meso.

Sehubungan dengan berkembangnya Posmo (yang oleh Alvin Toffler dinamakan “The Third Wave” QUOTATION), maka sistem Mikro dan Meso anak juga akan berubah drastis. Orangtua, guru, guru ngaji, orangtuanya teman-teman, apalagi televisi, tidak lagi satu bahasa dan seia-sekata dalam mendidik anak-anak. Di masa lalu, setiap ucapan orangtua hampir selalu konsisten dengan arahan guru di sekolah atau omongan orang-orang di surau atau di pasar. Tetapi sekarang apa yang dikatakan orangtua sangat berbeda dengan yang ditayangkan di TV, atau dengan omongan orangtuanya teman, atau nasihat ibu guru. Bahkan antara ayah dan ibu saja sering tidak sepaham, karena ibu-ibu jaman sekarang sudah sadar jender, punya penghasilan sendiri (bahkan kadang-kadang lebih besar dari suaminya), jadi merasa berhak juga untuk memutuskan dalam lingkungan rumah tangga.

Buat orangtua sendiri, yang dirasakan adalah bahwa anak tidak lagi hanya mendengarkan orangtua sendiri. Anak makin sering membantah, bahkan melawan orangtua, karena ia melihat banyak contoh di luar yang tidak sama dengan apa yang dikatakan orangtuanya. Jika anak dilarang menyetir pad usia 14 tahun, ia segera bisa menunjuk anak lain yang diijinkan nyetir sejak SD; jika anak disuruh sholat, ia segera mengacu pada Pak De-nya yang tidak sholat. jika ia dilarang pulang malam, ia malah pulang pagi, karena semua temannya mengajaknya ke disko atau ke kafe.
Anak

Sementara itu, anak sendiri tetap saja anak seperti sejak jaman dahulu kala. Semasa kecil anak-anak membentuk kepribadiannya melalui masukan dari lingkungan primernya (keluarga). Sampai usia 5-8 tahun ia masih menerima masukan-masukan (tahap formative). Menjelang remaja (usia ABG) ia mulai memberontak dan mencari jati dirinya dan akan makin menajam ketika ia remaja (makin sulit diatur) sehingga masa ini sering dinamakan masa pancaroba.

Masa pancaroba ini pada hakikatnya merupakan tahap akhir sebelum anak memasuki usia dewasa yang matang dan bertanggung jawab, karena ia sudah mengetahui tolok ukur yang harus diikuti dan mampu menetapkan sendiri mana yang benar dan salah, mana yang baik dan buruk dan mana yang indah dan jelek.

Tetapi masa pancaroba dalam diri individu itu akan lebih sulit mencapai kemantapan dan kematangan jika kondisi di dunia luar juga pancaroba terus, seperti halnya di era Posmo ini. Dampaknya adalah timbulnya generasi remaja dan dewasa muda yang terus berpancaroba sampai dewasa. Generasi inilah yang saya temui di ruang praktek dengan kebingungan memilih jurusan yang mana, bimbang karena pacarnya tidak disetujui orangtua, kehabisan akal karena hamil di luar nikah atau karena tidak bisa keluar dari kebiasaan menyalah gunakan Narkoba.
Perubahan Paradigma

Menghadapi era Posmo yang serba tidak jelas ini, kesalahan paling besar, tetapi yang justru paling sering dilakukan, adalah mendidik anak berdasarkan tradisi lama dan tanpa alternatif. Artinya, semua yang diajarkan oleh orangtua mutlak harus diikuti, orangtua penya hak dan kekuasaan atas anak, anak harus berbakti kepada orangtua dsb. Di sekolah para guru pun masih sering berpatokan pada pepatah “guru adalah digugu/dipatuhi dan ditiru), sehingga benar atau salah guru harus selaludipatuhi. Demikian pula dalam bidang agama, bahkan politik (masing-masing elit politik dan kelompok mahasiswa merasa dialah yang paling benar). Penyebab anak malas belajar

Jika dihadapakan terus-menerus dengan pendekatan otoriiter, maka anak-anak yang sedangserba kebingungan akan makin bingung sehingga makin tidak percaya diri, atau justru makin memberontak dan menjadi pelanggar hukum. Karena itu dalam era sistem Makro yang diwaranai oleh Posmo ini, pendidikan pada anak harus berorientasi pada pengembangan kemampuan anak untuk membuat penilaian dan keputusan (judgement) sendiri secara tepat dan cepat. Dengan perkataan lain, anak harus dididik untuk menilai sendiri yang mana yang benar/salah, baik/tidak baik atau indah/jelek dan atas dasar itu ia memutuskan perbuatan mana yang terbaik untuk dirinya sendiri. Anak yang dididik untuk selalu mentaati perintah orangtua, dalam pemberrontakannya akan mencari orang lain atau pihak lain (dalam sistem Mikro-nya) yang bisa dijadikannya acuan baru dan selanjutnya ia akan mentaati saja ajakan atau arahan orang lain itu (yang sangat boleh jadi justru menjerumuskan).
09:50

Post a Comment

[facebook]

MKRdezign

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget