Kebijakan Pendidikan Progresif

Kebijakan pendidikan di Indonesia selama ini agaknya tidak pernah menjadikan manusia sebagai subjek yang mesti diperhatikan dan muliakan, manusia sekadar menjadi objek pendidikan. Pendidikan yang mestinya ‘memanusiakan manusia’, justru kebijakannya tak mampu menyelesaikan problem dalam dunia pendidikan dengan menempatkan manusia sebagai subjek utama pendidikan, ia menjadi kebijakan yang normatif dan kaku.

Banyak kasus yang menunjukkan betapa kebijakan pendidikan tak menempatkan manusia sebagai subjek utama yang mesti dimuliakan. Aktivis guru yang juga sekretaris Jenderal Federasi Guru Independen Indonesia (FGII), Iwan Hermawan dijatuhi sanksi disiplin karena bersikap kritis terhadap penyelenggaraan pendidikan berupa penundaan kenaikan pangkat selama satu tahun. Setelah menurunkan tim Sekretaris Jenderal, Mendiknas melalui Surat No. 341/RHS/MPN/2007 tertanggal 18 Juni 2007 menyimpulkan, bahwa komentar Iwan di media massa telah meresahkan siswa dan menimbulkan kesan UN gagal (Kompas, 29/7/08).

Beberapa waktu sebelumnya di Medan, beberapa guru yang melaporkan kasus kecurangan ujian nasional justru dicibir oleh sesama rekannya, bahkan untuk kali pertama guru direndahkan derajatnya ketika digeruduk oleh Densus 88 Antiteror untuk kasus kecurangan ujian nasional. Alih-alih membela guru yang kritis dan berani mengungkap kecurangan ujian nasional, Mendiknas dan Dinas Pendidikan justru cuci tangan dan menyerahkan kasus ke Polisi dan membuat keputusan menunda kenaikan pangkat dengan alasan yang mengada-ada. Bukankah semestinya kejujuran dan keberanian menungkap kecurangan mesti dibela, betapa jelas kebijakan pendidikan pemerintah sama sekali menafikan nurani dan kemanusiaan dan lebih berpegang pada teks mati biang tragedi pendidikan, yaitu PP No. 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.

Tak hanya tragedi nyata di lapangan yang meminta korban dari teguhnya pemerintah memegang PP No. 19/2005 sebagai legitimasi pelaksanaan ujian nasional tersebut, bahkan secara konseptual PP itu juga bertentangan dengan UU Sisdiknas No. 20/2003 mengenai substansi ujian nasional sebenarnya. Entah mengapa pemerintah ternyata lebih memilih berpegang pada teks mati ketimbang nurani kemanusiaan. Kasus lainnya di Yogyakarta misalnya, dana renovasi 47 SD belum turun, padahal sekolah penerima dana renovasi sudah mulai dilakukan dan selesai pada Oktober 2008. Para pengelola sekolah terpaksa hutang ke koperasi guru dan ada juga yang menggunakan dana operasional sekolah yang berasal dari sumbangan pembinaan pendidikan (SPP). Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Yogyakarta Syamsuri menyatakan, dana renovasi terlambat karena menunggu petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan dari pemerintah pusat (Kompas, 29/7/08).

Di level praksis, untuk hal yang sangat mendesak pun pemerintah sebagai pengambil kebijakan ternyata sangat terikat pada ketentuan kaku dari atasan dan tak melihat bahwa kondisi di lapangan betul-betul secepatnya membutuhkan bantuan dan lebih menunggu berpegang pada teks. Padahal teks itu mati dan sekadar menjadi pegangan normatif saja, sementara masalah yang timbul di level praksis membutuhkan penyelesaian masalah yang lebih kontekstual dan sesegera mungkin; di sisi lain teks itu mati rasa, terbukti menjadi dalil legitimasi kebijakan yang tak memihak nurani dan kemanusiaan. Di sinilah mestinya kebijakan yang diambil dalam dunia pendidikan bersifat -dengan meminjam istilah dari pakar hukum Prof. Satjipto Rahardjo adalah hukum- progresif.

Hukum progresif menurut Satjipto (2004) adalah hukum yang responsif, kreatif, berwatak pembebasan dalam memecahkan problem hukum. Ia berani keluar dari produk hukum normatif yang berlaku ketika ternyata produk hukum tersebut tak mampu memberi pemecahan yang lebih cepat dan tepat masalah yang terjadi, pun akan memihak hati nurani dan kemanusiaan ketika produk hukum yang ada tak lagi manusiawi. Hukum progresif memang bukan sebuah produk hukum materiil, melainkan lebih merupakan penafsiran dan penegakan hukum secara progresif, yang hidup dan menjadikan manusia sebagai subjek hukum yang mesti diutamakan dibandingkan produk hukum sebagai teks mati.

Dalam hal ini kebijakan pendidikan progresif mesti dikedepankan agar dapat memberikan solusi yang lebih manusiawi dan progresif. Kebijakan pendidikan sekarang yang mati rasa dengan mengabaikan nurani dan telah menjadikan manusia sekadar objek belaka mesti didobrak dengan kebijakan pendidikan progresif. Problem dunia pendidikan yang semakin beragam membutuhkan pendekatan kebijakan progresif yang tak dapat dipenuhi dengan cara memegang secara kaku kebijakan yang telah ada. Sebuah produk kebijakan sebagai sebuah teks mati tak akan dapat memenuhi kebutuhan riil itu, terlebih beberapa kebijakan pendidikan sekarang justru tak manusiawi, menafikan nurani, tidak tanggap dan gagal merespon problem secara cepat.

Dengan kebijakan pendidikan progresif -sebagaimana hukum progresif- maka ia akan berani melawan produk kebijakan yang justru menafikan nurani dan kemanusiaan seperti kasus guru dan ujian nasional di depan. Betapa banyak kebijakan yang mestinya segera dipenuhi di level praksis tapi mesti menunggu keputusan dari “atas” terlebih dulu, dengan kebijakan pendidikan progresif maka ia akan berani memangkas birokrasi yang berbelit, tak manusiawi, dan menafikan nurani itu untuk mengatasi masalah yang mesti diselesaikan secepatnya. Pertanyaannya, beranikah dunia pendidikan menerapkan kebijakan pendidikan progresif seperti itu ketika hukum progresif dalam penegakan hukum pun masih sekadar wacana?

kebijakan pendidikan progresif
10:47

Post a Comment

[facebook]

MKRdezign

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget